Negara Demokrasi Tidak Mesti Negara Sekuler



Oleh : KH. Salahuddin Wahid*

Harian Republika 30-7-98 memuat tulisan saudara Amsar A Dulmanan berjudul "Demokrasi Berimplikasi Sekularisasi" untuk menanggapi tulisan penulis (NU, Gus Dur dan Megawati- Republika 9 Juli 1998). Reaksi penulis menanggapi tulisan itu mendua. Pertama, terlepas dari isi tulisan, penulis berterima kasih dan menghargai tanggapan saudara Amsar, yang mencerminkan bahwa saudara Amsar adalah seorang yang perduli terhadap masa depan NU dan berani menyatakan sikapnya secara terbuka. Tetapi penulis juga sedih karena tanggapan dari PBNU -tertulis maupun lisan- yang disampaikan secara langsung kepada penulis belum ada. Sejauh penulis tahu, sampai saat ini belum dilakukan tabayyun (klarifikasi) kepada Gus Dur ataupun Said Agiel Siraj tentang sinyalemen bawa mereka berdua mempunyai visi politik sekuler, yang berarti bertentangan dengan AD/ART NU.

Tulisan Sdr. Amsar itu memberikan gambaran bahwa visi politik sekuler telah cukup banyak pengikutnya dikalangan NU terutama generasi muda. Hal itu tentunya tidak lepas dari pengaruh Gus Dur yang memang sangat inspiratif. Gus Dur telah membangunkan generasi muda NU untuk berani berpikir kreatif. Kita harus berterima kasih dan memberikan penghormatan kepada Gus Dur untuk hal itu, tetapi tidak harus membuat kita kehilangan daya kritis dan mengikuti apa saja yang dikatakan Gus Dur walaupun itu salah.



Dikotomi yang tidak tepat

Saudara Amsar berpikir secara dikotomis, mempertentangkan suatu hal dengan hal lain, tetapi penerapannya kurang tepat. Demokrasi dipandang sebagai antithese dari sistem monarkhi atau antithese dari sistem theokrasi. Rasanya kita semua sepakat untuk tidak menginginkan sistem theokrasi dan sistem monarkhi. Tetapi ditempat lain kita lihat adanya negara monarkhi-konstitusional yang demokratis, dan juga negara republik (bahkan republik demokrasi) sekuler yang tidak demokratis. Jadi negara demokrasi tidak mesti negara sekuler, negara sekuler belum tentu demokratis.

Menurut Amsar : "negara sekuler adalah negara yang tidak berdasarkan agama, sementara Pancasila bukan agama tetapi sekuler, karena itu negara Indonesia adalah negara sekuler. Kenyataan ini diperhalus dan diperkabur menjadi tanggung : bukan negara agama dan bukan negara sekuler". Kalau kita mengambil negara Islam sebagai these dan negara sekuler sebagai antithese, maka menurut penulis synthese-nya adalah negara pancasila yang berkeTuhanan atau sesuatu yang "bukan negara agama bukan negara sekuler". Kita akan paham bahwa ini bukan omong kosong, tetapi sesuatu yang benar-benar ada asal kita tidak berpikir a-priori. Membaca risalah sidang BPUPKI dan PPKI akan membuat kita bisa mengetahui proses pembahasan dasar negara yang sangat sulit dan musykil, yang penyelesaiannya hanya bisa dicapai dengan pengorbanan ummat Islam untuk bersedia menghilangkan tujuh kata "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya" dari dalam Pambukaan UUD 1945. Kalau kedua belah pihak kukuh pada pendirian masing-masing maka proklamasi kemerdekaan negara kesatuan RI tidak akan pernah terlaksana.

Setelah melalui proses yang melelahkan selama beberapa tahun, Konstituante belum berhasil mencapai kesepakatan tentang dasar negara RI walaupun sudah dalam posisi untuk mencapai kata sepakat dalam waktu 2-3 bulan (Buyung Nasution-1995). Tetapi terlanjur ditentukan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945 dengan ketentuan "dijiwai oleh Piagam Jakarta"

Presiden Soekarno -aktor utama dalam persidangan BPUPKI dan PPKI khususnya dalam Panitia Sembilan- tentunya memahami sepenuhnya apa yang dilakukannya dengan mencantumkan ketentuan "dijiwai oleh Piagam Jakarta". Hal ini bagi penulis adalah salah satu bukti dari visi dan sikap kenegarawanan Bung Karno yang bisa melihat jauh kedepan. Sudah bisa diduga bahwa akan terjadi perbedaan penafsiran terhadap ketentuan "dijiwai oleh Piagam Jakarta". 

Terlalu panjang dan terlalu berteletele kalau kita harus menguraikan semuanya itu. Penulis hanya ingin mengemukakan kesimpulan bahwa di Indonesia wujud dari kemungkinan implementasi bentuk dasar negara ada empat yaitu : negara Islam, negara sekuler, negara Piagam Jakarta dan negara berkeTuhanan. Yang belum pernah terwujud (exist) adalah negara Islam. Negara sekuler pernah terwujud yaitu mulai 17 Agustus 1945 sampai awal Januari 1946 ketika diputuskan untuk membentuk Departemen Agama.

Pembentukan Departemen bagi penulis adalah titik temu dari negara dengan agama, tetapi bagi kalangan yang berpikir dengan paradigma Barat hal itu ditafsirkan sebagai campurtangan negara terhadap kehidupan agama. Mulai awal 1946 sampai dengan saat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 penulis sebut sebagai bentuk negara semi-sekuler. Masa setelah Dekrit Presiden sampai 1973 penulis sebut sebagai masa negara Piagam Jakarta (de-yure) yang dalam realitas politik tidak pernah terwujud. Pada tahun 1973 kelompok nasionalis-sekuler melakukan  langkah strategis  untuk mewujudkan negara  sekuler dengan mengajukan RUU Perkawinan yang banyak mengandung ketentuan yang bertentangan dengan syari'at Islam.

Berkat perjuangan FPP yang minoritas (94 anggota dari 460 anggota) dipimpin oleh KH Bisri Syansuri dengan juru-bicara diantaranya Ny. Asmah Syahruni -keduanya tokoh NU- maka ketentuan syari'at Islam berhasil dimasukkan kedalam UU itu. Hal itu menandai mulainya bentuk negara Pancasila yang berkeTuhanan. Dalam hal ini kita tidak boleh melupakan peranan Pak Harto -seburuk apapun pandangan kita terhadapnya saat ini- yang memerintahkan FABRI untuk membantu FPP sehingga tersusunlah UU Perkawinan seperti yang kita kenal dan kita pergunakan sekarang. Peranan Pak Harto dalam masalah UU Perkawinan ini juga menunjukkan visi dan sikap kenegarawanannya yang menonjol. Kita mengakui adanya ekses seperti yang dikemukakan saudara Amsar (kalangan Kong Hu Chu yang dilanggar hak agama dan status pernikahannya.

Penulis menghargai sikap Gus Dur yang membela mereka. Tetapi jangan sampai adanya ekses itu membuat kita menghapuskan UU yang mengatur pernikahan dan perkawinan yang sudah sesuai dengan syari'at Islam. Bentuk yang kita jalani mulai 1973 sampai kini penulis sebut sebagai negara berkeTuhanan atau "bukan negara agama dan bukan negara sekuler". Dan itu benar-benar terwujud walaupun harus diakui terdapat ekses. Kalau saat ini negara sedang kacau balau, hal itu tidak ada kaitannya dengan dasar negara, tetapi karena penyelenggaraan pemerintahan yang korup, otoriter dan menginjak-injak hukum. Apakah Pancasila itu sekuler? Saudara Amsar berpendapat bahwa Pancasila itu bersifat sekuler. Tentunya banyak pihak juga berpendapat serupa. Tetapi yang berpendapat sebaliknya juga banyak.

Muktamar NU Situbondo menetapkan suatu deklarasi tentang Pancasila yang salah satu butirnya berbunyi : "Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam". Hal itu menurut pendapat penulis menyiratkan bahwa NU berpendapat Pancasila itu tidak bersifat sekuler.

Akan lebih baik apabila kita mencoba membaca kembali risalah sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 -yang sekarang dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila- ketika Bung Karno menyampaikan pidatonya tentang usulan dasar negara, yang sangat baik dan mendapat sambutan luar biasa dari para anggota BPUPKI. Bung Karno mengusulkan dasar negara berupa lima sila dengan urutan : 1. Kebangsaan Indonesia, 2. Internasionalisme atau perikemanusiaan, 3. Mufakat atau demokrasi, 4. Kesejahteraan sosial dan 5. KeTuhanan Yang Maha Esa.

Melalui pembahasan dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI telah diadakan perubahan terhadap urutan dari sila yang diusulkan semula oleh Bung Karno. Perubahan terhadap urutan tentunya  bukan tanpa arti dan menunjukkan prioritas dari sila-sila itu. Seperti diketahui, sila pertama dari Pancasila yang kita kenal sekarang dan resmi dipakai ialah KeTuhanan Yang Maha Esa.

Banyak pihak menilai bahwa hal itu menunjukkan bahwa Pancasila itu tidak bersifat sekuler termasuk beberapa tokoh dari kalangan Kristen seperti Victor Tanya, Arnold Mononutu. Pancasila bersifat terbuka dan selalu dapat ditafsirkan oleh siapa saja sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Yang harus dihindarkan ialah suatu kalangan memaksakan penafsiran mereka terhadap pihak lain, secara langsung atau tidak, misalnya kalau kalangan yang menafsirkan bahwa Pancasila itu tidak bersifat sekuler dikenai tuduhan bahwa kalangan itu bermaksud mendirikan negara Islam. 

Kalau penafsiran terhadap Pancasila bisa beragam, maka penafsiran terhadap apa yang disebut negara Pancasila itu bisa beragam dan bisa mempunyai dinamika tersendiri. Realitas politik selama 25 tahun terakhir menunjukkan telah terwujudnya negara Pancasila yang berkeTuhanan yang menerima legalisasi ajaran Islam secara terbatas, yang telah diterima oleh sebagian besar rakyat Indonesia -dengan catatan masih ada beberapa ekses.

Langkah untuk merubah keadaan ini, baik merubahnya menjadi negara sekuler -yaitu menghapuskan UU yang mengandung ketentuan syari'at Islam- akan ditentang  kalangan nasionalis-Islam. Sebaliknya,  memberlakukan Piagam Jakarta, akan mendapat tentangan keras dari kalangan nasionalis-sekuler maupun kalangan nasionalis-Islam yang moderat. Perbedaan antara negara berkeTuhanan dengan negara Piagam Jakarta ialah adanya pembatasan legalisasi syari'at Islam pada negara berkeTuhanan.

Noda politik

Amsar mengatakan bahwa penulis menggunakan noda atau cacat (terjemahan dari stigma) politik tahun 1950-an sebagai cara analisis untuk membahas masa depan politik NU -(nasionalis)Islam- yang akan digandengkan (oleh Gus Dur, Said Agiel  Siraj, Matori) dengan kelompok  Megawati yang nasionalis (sekuler). Penulis tidak menggunakan istilah Islam dan nasionalis, sebab terkesan kelompok Islam  tidak nasionalis, tetapi menggunakan istilah nasionalis-Islam dan nasionalis-sekuler atau Islam dan sekuler. Penulis menganggap dikotomi Islam dengan sekuler -dalam arti menentang legislasi ajaran Islam- bukanlah sesuatu noda politik atau cacat politik.

Kalau kita mau belajar dari sejarah bangsa, kita akan mengetahui bahwa masalah itu memang masalah klasik -semenjak sebelum Proklamasi- yang mendasar dan amat rumit. Pasal 5 Anggaran Dasar NU berbunyi : Tujuan NU adalah berlakunya ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama'ah dan menganut salah satu madzhab empat ditengah-tengah kehidupan, didalam wadah negara kesatuan Rep. Indonesia yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945.

Rumusan itu jelas menunjukkan NU menghendaki berlakunya ajaran Islam dalam wadah negara RI, yang berarti dlm bentuk UU. Selain itu Pesan-pesan Muktamar NU ke-28 (1989) mengungkapkan bahwa Muktamar mengharapkan RUU Peradilan Agama segera disahkan menjadi Undang-undang. Kita tahu bahwa RUU itu telah disahkan menjadi UU. Jadi jelas bahwa NU mendukung legalisasi ajaran Islam. Karena itu didalam NU, penganut paham sekuler-lah yang mempunyai noda atau cacat politik.  Dalam realitas politik Indonesia sampai 10-15 tahun mendatang- masalah sekuler masih akan tetap menjadi salah satu issue sentral.

Kalau banyak tokoh NU -Slamet Effendi Yusuf, Aisyah Hamid Baidlowi, Mujib Rohmat, Mustafa Zuhad- aktip didalam Golkar, hal itu tidak terlepas dari persaingan Islam dengan sekuler. Mereka tidak ingin Golkar diselewengkan untuk mewujudkan masyarakat sekuler seperti tahun 1970an - 1980-an. Kalau kalangan Islam menginginkan legalisasi ajaran Islam, bukan berarti harus ditafsirkan bahwa mereka tidak  mempunyai jiwa, semangat dan wawasan kebangsaan, tetapi memperjuangkan hak konstitusional sesuai UUD 1945 pasal 29 ayat 2.

Di Indonesia, kebangsaan dan keislaman adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama, tidak dapat dipisahkan satu dari lainnya. Pesan-pesan Muktamar NU ke 28 mengungkapkan bahwa : "ukhuwwah dapat dijabarkan menjadi ukhuwwah Islamiyah, ukhuwwah Wathoniyyah dan ukhuwwah basyariyah". Tentunya ketiga ukhuwwah itu saling melengkapi tidak berdiri sendiri dan tidak saling bertentangan.

Pada bulan Oktober 1945, ketika pemerintah secara de-facto belum ada (exist), PBNU dibawah Rais Akbar KH Hasyim Asy'ari menyatakan Resolusi Jihad yang mewajibkan ummat Islam untuk memperjuangkan kemerdekaan dan membela tanah air sebagai perjuangan dijalan Allah. Terbukti resolusi itu sangat membantu perjuangan bangsa dan negara. Atas jasanya kepada negara KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahid Hasyim dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. 

Dan KH Hasyim Asy'ari serta tokoh NU lainnya seperti KH Wahab Hasbullah dan KH Wahid Hasyim sangat menginginkan masuknya ketentuan syari'at Islam kedalam UU. Bagaimana mungkin tokoh pejuang kebangsaan seperti mereka dapat dianggap tidak mempunyai jiwa, semangat  dan wawasan kebangsaan, hanya karena menginginkan legislasi ajaran Islam? Apa hak dari para pemimpin dan generasi masa kini -yang tidak pernah ikut berjuang mendirikan negara RI- untuk memberi penilaian seperti itu?

Selanjutnya Amsar mengemukakan bahwa karena RI adalah negarabangsa yang bersatu berdasarkan kebangsaan, bukanberdasarkan etnis dan agama, maka kesimpulan akhirnya adalah bahwa negara RI harus negara sekuler. Ditegaskan, banyak warga NU terutama kalangan mudanya menolak agama dijadikan landasan politik serta menghendaki tatanan politik sekuler. Alasan untuk itu ada 3 buah yaitu : 1. hal itu mendistorsi cita-cita syari'at Islam sebagai pelindung masyarakat; 2. oleh rezim diktator, syari'at Islam bisa dijadikan alat untuk menindas rakyat; 3. akan mendiskriminasi kelompok non-Islam sebagai warganegara kelas dua yang selanjutnya akan mengancam terjadinya dis-integrasi.

Karena negara RI sudah 25 tahun merupakan negara berkeTuhanan bukan negara sekuler, mari kita kaji apakah yang dikemukakan oleh saudara Amsar dan kawan-kawan itu benar adanya. Penulis melihat UU Perkawinan itu justru melindungi ummat Islam yang ingin menikah sesuai dengan syari'at Islam dan mengikuti UU. Kalau UU Perkawinan berisi ketentuan yang bertentangan dengan syari'at Islam seperti yang diajukan oleh kelompok nasionalis-sekuler, maka yang akan terjadi ialah kalau kita mengikuti syari'at Islam maka perkawinan itu tidak sah didepan UU, sebaliknya kalau sah secara UU maka perkawinan itu bertentangan dengan syari'at Islam alias tidak sah didepan agama. 

Berarti anak hasil perkawinan itu adalah anak diluar pernikahan secara Islam. Kita memasukkan syari'at Islam kedalam UU tidak dengan maksud untuk menginginkan berdirinya rezim diktator. Rezim diktator itu bisa terjadi dimana saja, bahkan dinegara yang tidak mengakui agama. Jadi tidak ada hubungan antara legislasi ajaran Islam dengan kediktatoran.

Sekarang kita coba melihat kenyataan -dengan mengesampingkan ekses yang sudah disepakati untuk dihilangkan- dimasyarakat, apakah warga-negara yang tidak beragama Islam dirugikan dengan adanya UU Perkawinan itu? Pernyataan bahwa UU itu akan memicu terjadinya dis-integrasi bangsa adalah pernyataan yang sangat dilebih-lebihkan. Kita semua menyampaikan simpati dan dukungan moral kepada Megawati dkk yang telah mendapat perlakuan tidak adil dan tidak demokratis dari (sekelompok pejabat) pemerintah. 

Tetapi tentunya hal itu tidak mengharuskan kita untuk mempunyai pandangan politik yang sepenuhnya sama dengan mereka. Memang cukup banyak persamaan diantara kedua kelompok itu, tetapi ada satu perbedaan mendasar yaitu masalah legalisasi ajaran Islam dan kecenderungan untuk menciptakan masyarakat sekuler.

Kehidupan masyarakat bangsa Turki -yang mayoritas penduduknya beragama Islam- dapat  dijadikan contoh konkrit dari  masyarakat sekuler yang mempersulit berkembangnya kehidupan keagamaan. Penentangan yang keras dari PDI terhadap legalisasi ajaran Islam dalam pembahasan RUU Perkawinan, RUU Peradilan Agama dll, dapat menjadi bahan renungan tentang kebenaran dari sinyalemen penulis. PDI-lah satu-satunya fraksi yang menentang UU PA. 

Tentunya penulis menghargai hak seseorang atau suatu kelompok didalam NU untuk mempunyai pandangan politik sekuler, tetapi tidak boleh dibiarkan adanya pribadi  pengurus NU mempunyai pandangan  politik sekuler dan mengatas-namakan NU serta membawa NU kearah pandangan semacam itu. Harus ditingkatkan  kewaspadaan  terhadap  kemungkinan penyimpangan  terhadap cita-cita para pendiri NU dan manipulasi kekuatan NU untuk mendukung kelompok sekuler oleh sekelompok orang didalam NU, karena gejalanya sudah jelas terlihat. Pertanyaannya : siapa yang harus melakukan dan bagaimana caranya meningkatkan kewaspadaan itu .

sumber Musykilat Dalam NU