Islamoderat.com ~ Dalam sebuah wawancara dengan wartawan FORUM, Gus Dur pernah ditanya mengenai khittah yang dimaksud oleh Gus Dur yang saat itu memimpin Nahdlatul Ulama (NU).
Berikut ini petikan dari wawancara tersebut :
****
Khittah yang Anda maksud itu apa sih intinya?
Yang dimaksudkan Khittah NU itu 'kan Khittah 1926. Lha itu apa sih? Yaitu cara hidup dan cara pandang menurut paham ahlusunnah wal jamaah. Lha kalau itu digeser, NU mau jadi apa? Dari cara pandang dan cara hidup itu, maka ditariklah sejumiah konsekuensi sebagai patokan moral.
Dengan adanya patokan-patokan itu, dan dari kesadaran bahwa kita melakukan cara hidup dan cara pandang itu, ditetapkanlah tekanan kegiatan pada bidang pendidikan, dakwah dan sebagainya. Nah, otomatis dari deretan itu semua, timbul pertanyaan, di mana soal politik.Itu dijawab dalam keputusan komisi rekomendasi. Di antaranya bahwa NU tidak terkait secara organisatoris dengan kekuatan sosial politik mana pun. Jadi itu bukan dari Khittah, melainkan penyimpulan atau konsekuensi dari Khittah. Nah dalam urusan politik itu, NU menghormati hak-hak politik warga, dan menganjurkan agar mereka memakai hak-hak politik itu dengan sebaik-baiknya, berdasarkan akhlakul karimah.
Anda yakin NU bisa eksis di masa datang, tanpa menjadi parpol?
Dulu tahun 1926 sampai 1952, NU bukan parpol, parpolnya dititipkan ke mana-mana. Zaman Masyumi, ya ke Masyumi. Sampai dengan tahun 1952, NU keluar membikin partai sendiri, berdasarkan keputusan Muktamar di Palembang. Terus fusi tahun 1973, dan tahun 1984 kembali ke Khittah. Kita tidak berpolitik praktis lagi. Anda lihat sendiri, sampai sekarang NU masih eksis kok.
Tipe kepemimpinan seperti apa sih yang dikehendaki mayoritas NU?
Umat itu menunjukkan pemimpin-pemimpin mereka. Menunjukkan ini dalam arti mengakui kepemimpinan seseorang. Apakah itu misalnya Kiai Sahal, Kiai Imran Hamzah, Kiai Chotib, Kiai Alawy, Kiai Mustofa Bisri, Kiai Cholil Bisri. Tanya dong sama mereka, siapa yang mereka inginkan.
sumber Tabayyun Gus Dur / Abdurrahman Wahid, 1990