Islamoderat.com ~ Dua orang salik bertemu dan asyik berbincang-bincang. Seseorang yang dari tadi memperhatikan mereka berdua kemudian bertanya: "Di antara kalian berdua, mana yang sebagai mursyid dan siapa yang sebagai murid?"
Yang berbaju hitam menjawab, "Saya lah murid dan yang disebelahku ini mursyid saya". Yang berbaju putih menukas cepat: "Oh tidak, terbalik itu, saya lah murid dari guru saya ini", sambil menunjuk yang berbaju hitam.
Yang berbaju putih meneruskan jawabannya: "Saya tidak pernah menganggap kamu sebagai murid saya. Sebaliknya saya belajar banyak dari obrolan kita soal Allah dan RasulNya".
Yang berbaju hitam menoleh sambil tersenyum: "Saya tidak perlu dianggap sebagai murid atau tidak, saya tidak butuh pengakuan itu. Saya sudah mengangkat diri saya sendiri sebagai murid dirimu, terserah mau diakui atau tidak".
Yang berbaju putih berkata lagi, "Tapi saya sudah duluan mengangkat dirimu sebagai guru saya, terserah kamu mau menerima saya sebagai murid atau tidak, Yang jelas kamu lah guru saya."
Sebelum yang berbaju hitam kembali menjawab, orang yang bertanya tadi itu segera beranjak pergi meninggalkan keduanya. "Dua orang aneh," pikirnya.
Kedua salik ini pun kemudian berpisah meneruskan perjalanan masing-masing. Yang berbaju putih mengirimkan surat ditujukan kepada yang berbaju hitam. Yang berbaju hitam menjawab surat tersebut sambil keheranan menanyakan, "Mengapa dalam suratmu semuanya ditulis dengan huruf kecil. Tidak ada huruf besar sedikitpun, lupakah kamu dengan kaidah penulisan yang baik dan benar?"
Yang berbaju putih menjawab surat itu: "saya sengaja menulis dengan huruf kecil karena bagaimana mungkin saya sanggup mencantumkan huruf besar dalam surat kepada guru saya? huruf besar adalah cermin keangkuhan diri. saya tak pantas melakukannya di depan anda meski hanya dalam bentuk tulisan".
Lama tak ada jawaban dari yang berbaju hitam. Hingga suatu saat yang berbaju putih bermimpi menemui yang berbaju hitam, "Aduhai kemana gerangan dirimu? Saya kangen sekali. Mengapa tak kau jawab surat terakhirku?"
Dalam mimpi itu sosok yang berbaju hitam menjawab, "Bagaimana mungkin sanggup ku tuliskan jawaban surat untuk dirimu yang ku anggap sebagai guruku. Semua aksara lenyap. Setiap huruf yang mau kutuliskan --baik huruf kecil maupun besar-- hilang begitu saja. Jikalau aksara adalah perwakilan diri ini, seakan pena dan kertas tahu bahwa di depan sang mursyid tak ada lagi kata-kata yang layak disampaikan."
Sejak saat itu, yang berbaju hitam dan yang berbaju putih, berkomunikasi dalam diam. Mereka memasuki keheningan. Tak ada kata-kata, tak ada aksara, tak ada suara. Tak ada lagi perdebatan. Tak ada lagi pertanyaan. Hanya hati mereka yang saling berkomunikasi.
Tuhanku,
dalam diam,
ku simak KalamMu
jauh lebih jelas dari aksara dan suara
dalam hening,
tinta QalamMu kembali berubah
menjadi samudera kedamaian
hitam
putih
melebur dalam cintaMu
sumber : Nadirsyah Hosen