Islamoderat.com ~ GATOT Wilotikto tak pernah menyangka kepergianya ke Korea Utara (Korut) pada pengujung 1960 bakal lain dari yang dia bayangkan. Meski kemudian berbuah pahit, dia tak pernah menyesalinya. Banyak hikmah dan kenangan manis yang membanggakannya.
Mulanya, pria kelahiran 18 November 1936 itu kuliah di Jurusan Biologi Universitas Padjajaran, Bandung. Gatot dan seorang temannya terpilih untuk kuliah di Pyongyang atas undangan Liga Pemuda Korea. Dengan sponsor Badan Kesejahteraan Mahasiswa Indonesia, keduanya bertolak pada 11 November 1960.
Perjalanan ke Korut tak mudah. Minimnya hubungan diplomatik negeri itu dengan negara lain membuatnya tak punya akses penerbangan langsung dengan banyak negara. Korut dan Indonesia juga belum membuka hubungan diplomatik, dan hanya membuka kantor perwakilan dagang di Jalan Cimandiri Jakarta. Waktu berangkat, dia hanya berbekal paspor Tiongkok.
“Penerbangan kami mesti melintasi negara-negara sosialis,” ujar Gatot saat menjadi pembicara dalam acara “International Symposium: Indonesian Relations with the World: Japanese Studies 50 years after 1965” di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, 19 September 2015.
Sepekan dalam perjalanan, Gatot akhirnya tiba di Pyongyang tepat di hari ulang tahunnya. Di Pyongyang dia mengambil Jurusan Tenaga Listrik di Institute Technology Kim Chaik. Korut waktu itu sudah mandiri.
“Pada saat saya datang di Korea Utara itu tingkat kehidupannya jauh lebih baik daripada Korea Selatan. Keadaannya memang demikian,” katanya, menjelaskan cepatnya kebangkitan Korut tak lama setelah perang saudara. Kemajuan itu berkat bantuan negara-negara sosialis-komunis seperti Jerman Timur, Cekoslowakia, Tiongkok, dan Uni Soviet.
Gatot harus sering mondar-mandir Pyongyang-Peking untuk memperpanjang paspor. Hal itu justru memberi berkah baginya. Pada 1961, Kedubes RI di Peking mengundang dia dan temannya untuk ikut menyambut kunjungan Presiden Sukarno. “Kami berkesempatan untuk bertemu empat mata dengan Bung Karno. Itu kebanggaan. Bung Karno orangnya sangat menghargai,” ujarnya kepadaHistoria.
Menurut Gatot, delegasi Korut juga datang menemui Sukarno di Peking. Hasil pertemuan itu adalah komunike bersama tentang pembukaan hubungan diplomatik setingkat konsulat jenderal antara kedua negara.
Pada Oktober 1961, Delegasi Kebudayaan di bawah pimpinan Direktur Hubungan Budaya Luar Negeri Mulwanto tiba di Pyongyang. Kunjungan itu menandai kunjungan resmi pertama Indonesia di Korut. Gatot dipercaya menjadi perwakilan pemerintah Indonesia.
Karena kedatangan delegasi itu hampir bersamaan dengan Hari Sumpah Pemuda, Gatot mengusulkan kepada Liga Pemuda Demokrasi Korea untuk menyelenggarakan peringatan Sumpah Pemuda di Pyongyang. Gayung bersambut. “Sehingga (peringatan, red.) itu dilakukan oleh Liga Pemuda Demokrasi, dan kita undang beberapa delegasi mahasiswa asing yang ada di Korut,” kata Gatot.
Kebanggaan Gatot berikutnya ketika Dubes keliling Indonesia Supeni berkunjung ke Tiongkok untuk mempromosikan Ganefo (The Games of the New Emerging Forces). Supeni juga berkunjungan ke Pyongyang untuk menghadiri ulangtahun Korut ke-15. Delegasi Indonesia untuk kali pertama bertemu perwakilan Korut. Gatot menjadi penerjemah Supeni.
Kepadanya, Supeni memerintahkan agar membujuk Korut untuk mengirimkan atlet-atletnya ke Ganefo. Korut tak langsung mengiyakan. “Buat mereka unifikasi juga penting, persatuan Korea penting buat mereka. Jadi mereka masih ragu,” kata Gatot.
Baru setelah Supeni mengatakan Indonesia akan langsung membuka kantor perwakilan diplomatik di Pyongyang begitu Korut ikut Ganefo, Korut mengiyakan permintaan Indonesia. Dua hari setelah informasi Gatot itu, Korut secara resmi mengumumkan keikutsertaannya dalam Ganefo.
Sumber : historia.id/persona/kisah-gatot-orang-indonesia-yang-terpaksa-hidup-50-tahun-di-korea-utara