Islamoderat.com ~ Terbitnya buku KH Mustofa Ali Ya’qub, al-Wahabiyyah wa Nahdlatul Ulama: al-Ittifaq fi al-Ushul la Ikhtilaf, menuai banyak kritik. Buku yang mencoba mengurai benang kusut hubungan antara NU dan Wahabiyyah tersebut merupakan kelanjutan dari artikel imam besar masjid Istiqlal itu yang dimuat di Republika, Titik Temu Wahabi-NU (13/02/2015).
“Namun, kami tidak mau teman-teman Nahdliyyin di Tunisia ikut terseret dalam arus perdebatan tersebut (baca: pro dan kontra, red) hanya karena latah atau ikut-ikutan,”ujar Jauhari ketua panitia bedah buku.
Masih menurut mahasiswa semester satu Universitas Zaitunah, untuk itu PCINU Tunisia mengadakan bedah buku karya pengasuh pesantren Darussunnah Jakarta tersebut di sekretariat PCINU Tunisia, Minggu (20/09).
Diskusi berjalan “panas”. Pasalnya, Azmi Alify, pembanding, menyambut terbitnya buku tersebut, “Karena buku ini bertujuan untuk mempertemukan antar dua kelompok, yaitu NU dan Wahabi.”
Lebih lanjut, mahasiswa Pascasarjana Azzaitunah itu juga menyatakan, “Kita tidak perlu khawatir atas terbitnya buku KH Mustofa. Toh, warga NU sudah cerdas-cerdas dalam mimilih dan menilai.”
Namun, statemen Azmi mendapatkan tanggapan dari salah satu peserta bedak buku di Dar Tanisia, sekretariat PCINU Tunisia. Adalah A. Muntaha Afandie peserta yang memberi tanggapan.
Dalam tanggapannya, mahasiswa Linguistik di Departemen Bahasa Arab, Universitas Manouba, itu menyatakan, “Ya, saya menyambut baik atas tujuan mulia beliau. Namun, yang saya sayangkan, tujuan mulia beliau dikerjakan dengan cara yang kurang mulia. Kenapa? Karena dalam melalukan memperptemukan NU-Wahabi, beliau menggunakan double morality, standar moral ganda.”
Masih menurut Muntaha, pak kiai menyatakan bahwa tidak bisa menjeneralisir perbuatan perorangan atas sebuah kelompok. Namun, di beberapa bagiannya, untuk menampilkan sosok wahabi yang toleran dan tidak suka mengkafirkan K.H. Mustofa justru melanggar peringatannya sendiri.
“Misalnya, untuk menguatkan itu beliau bercerita pernah ditraktir makan oleh temannya. Jika Wahabi mengkafirkan orang NU, tidak mungkin saya ditraktir teman saya? Inikan bentuk generalisir. Contoh lain, untuk menampilan Wahabi yang tidak mengkafirkan sekte lain, Kiai Mustofa menulis, jika wahabi mengkafirkan sekte lain, bagaimana mungkin Saudi akan membuka pintu lebar-lebar untuk jamaah haji,”ujar peminat buku pemikiran Islam itu.
Meski berlangsung panas, peserta acara bedah buku pun sesekali tertawa bersama. Sebab, baik pembicara maupun pemberi tanggapan sesekali melapaskan jok. “Pak Kiai kita ini kurang piknik ke toko buku, di rak agama, bukan rak tata boga,” kontan saja pernyataan ketua tanfidz mengundang tawa.
Jika beliau menilik motif berdirinya NU, kata alumnus Pesantren Lirboyo, sudah jelas respon atas sikap wahabi yang akan memaksakan bagi jamaah haji untuk mengamalkan ibadah haji sesuai mazhab mereka. Selain, tentu saja mencegah pembongkaran makam nabi dan situs-situs bersejarah lainnya.
“Melihat kelemahan-kelamahan tersebut, di mata saya, buku ini semacam propaganda,” Muntaha mengakhiri pembicaraanya.
Sedangkan pembedah pada acara yang dimulai sejak pukul 20:00, antara lain, mengkritisi pendapat Kiai Mustofa yang menyatakan bahwa diantara titik temu NU dan Wahabi adalah keduanya sama-sama menerima hadis ahad.
Menurut alumnus Al-Azhar, Cairo, itu pendapat NU menggunakan ash’ariyah tidah menggunakkan hadis ahad. “Ini tidak benar. Sebab, NU sebagai penganut Asya’ariyyah, sama sekali tidak menggunakan hadis ini dalam aqidah,” tandas peminat kajian tasawuf asal Lombok tersebut.
“Kekurangan lain,” lanjut Ariandi “Buku ini miskin referensi. Penulis kurang rihlah ke makatab ah(perpustakaan),” punkasnya. []
sumber : NU Tunisia