Islamoderat.com ~ Kunjungan Sukarno ke Pyongyang pada 1-4 November 1964 menjadi penanda hubungan baik kedua negara secara resmi. “Waktu Bung Karno datang, semua rakyat Korea Utara diwajibkan menyanyi lagu Sukarno. Lagu itu masih diingat betul orang Korea berusia 50 tahun ke atas. Mereka sangat mengagumi Sukarno,” kenang Gatot.
Sukarno sedang getol menggelorakan konsepsinya mengenai tata dunia baru. Korut menjadi salah satu negara yang dipandangnya sehaluan untuk membangun New Emerging Forces (Nefos) dan menghancurkan Old Establishing Forces (Oldefos).
“Dalam pidatonya pada peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus, Sukarno mengumumkan poros Jakarta-Phnompenh-Hanoi-Beijing-Pyongyang yang antiimperialis,” tulis MC Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Simbiosis mutualisme kedua negara makin menguat.
Sukarno butuh dukungan politik Korut, sementara Korut butuh Indonesia menjadi penghubung dengan dunia luar.
Setelah kunjungan Sukarno, banyak tokoh Indonesia mengunjungi Korut. Di antaranya Arudji Kartawinata dan Chairul Saleh. Kedatangan Chairul terjadi beberapa saat sebelum Prahara 1965. Menurut Gatot, di Pyongyang dia tak sekali pun membahas panasnya suhu politik di Jakarta. “Malahan dia hanya dansa di sana,” kenangnya.
Saat Chairul pulang ke Indonesia, Prahara 1965 sudah pecah; Chairul ditahan dan meninggal dalam tahanan.
Meski beberapa perwakilan pemerintah Indonesia, mulai Adam Malik hingga Harmoko, tetap mengunjungi Korut setelah prahara 1965, hubungan kedua negara tak seharmonis masa Sukarno. Indonesia terkesan meremehkan Korut. Hubungan diplomatik pun bergeser kepada hubungan ekonomi. “Tidak ada maknanya bila dihitung dari segi ekonomi. Hubungan kita adalah politik. Itu yang menjadi poin penting,” kata Gatot.
Sebaliknya, Korut tetap menaruh hormat pada Indonesia. Mendiang Kim Il Sung bahkan berpesan kepada utusan khusus Presiden Soeharto, yang datang ke Pyongyang untuk mengundang Korut dalam KTT APEC di Jakarta, agar KTT dibarengi dengan peringatan 40 tahun Konferensi Bandung. Menurut Gatot, orang Korut tak tahu banyak mengenai Prahara 1965.
Perubahan sikap Indonesia pascapergantian rezim ikut menentukan nasib orang-orang Indonesia di Korut. Gatot, yang sejak lulus bekerja sebagai peneliti di almamaternya, harus kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Puluhan tahun dia stateless.
Kewarganegaraanya baru diakui pada masa pemerintahan Gus Dur. Setelah pensiun, dia sempat menjadi penerjemah honorer kemudian resmi di KBRI di Pyongyang. Mulai tahun 2011 menetap kembali di Indonesia setelah 51 tahun tinggal di Korut.
Diskriminasi tetap menghinggapinya. “Saya pulang tanpa visa,” ujarnya. Menurutnya, kewarganegaraan Indonesianya tetap masih sebatas pengakuan lisan. Usahanya mengurus surat-surat di kantor imigrasi tetap belum berhasil.
Negara hanya mengakui status kewarganegaraan Gatot telah diputihkan –hal yang membuatnya bingung karena tak pernah tahu kapan statusnya dihitamkan. “Saya merasa di negeri sendiri seperti di negeri orang,” pungkasnya.
Sumber : historia.id/persona/kisah-gatot-orang-indonesia-yang-terpaksa-hidup-50-tahun-di-korea-utara
Sumber : historia.id/persona/kisah-gatot-orang-indonesia-yang-terpaksa-hidup-50-tahun-di-korea-utara