Negara Arab Kaya Masih Hening-Membisu (I&II)


Islamoderat.com ~ Sampai dengan tanggal 28 Juli 2015, melalui Radio PBB, Stephen O’Brien, kepala urusan kemanusiaan PBB, melaporkan kepada Dewan Keamanan bahwa lebih dari empat juta rakyat Suriah masih terkepung di kawasan yang sulit dijangkau, sehingga kiriman bantuan menjadi terkendala. Sebagaimana Resonansi 8 September yang lalu melukiskan bahwa Suriah telah menjadi “kepingan neraka,” penderitaan para pengungsi, terbesar pasca-PD II, benar-benar sudah berada di luar toleransi kemanusiaan.Ada seorang bocah tewas terapung di pantai Turki, karena gagal menyelematkan diri. Jutaan yang lain telah dan sedang bergerak meninggalkan daerah “kepingan neraka” itu. Allah Maha Tahu sampai kapan penderitaan mereka itu akan berakhir.

Para elite yang sedang bertarung berebut kuasa di negeri itu sampai detik ini masih belum menampakkan kemauan baik untuk berdamai, meskipun bangsa mereka sendiri telah berantakan. Mengapa hati mereka yang sama-sama sebangsa dengan kultur yang sama pula sampai membatu demikian rupa, sungguh sangat sulit dijelaskan. Apa memang kekuasaan dengan visi moral yang redup pasti memilih kehancuran dari pada berdamai, saya tidak tahu. Di kalangan para pengungsi itu, pengikut Sunni, Syi’i, Druz, Kurdi, Kristen, dan subsekte yang lain telah bercampuraduk. Harapan mereka hanya satu: bagaimana caranya agar dapat melangsungkan kehidupan di mana pun di muka bumi, selama bumi itu bersedia menerima mereka.

Negara Arab Kaya Masih Hening-Membisu (I&II)


Di tengah buruknya nasib yang menimpa para pengungsi, ada juga yang sedikit melegakan batin kita. Rakyat di beberapa negara Eropa, terutama Jerman, telah bergerak serentak dengan penuh simpati untuk menampung dan menolong para pengungsi yang malang itu. Memang ada beberapa negara Eropa Timur telah mengunci wilayahnya agar tidak dapat ditembus oleh manusia korban perang saudara yang sudah berlangsung sejak tahun 2011 itu. O’Brien berharap benar agar solusi politik dapat dicapai segera untuk mengatasi krisis Suriah yang parah itu. Dengan segala rintangan yang dihadapi, menurut O’Brien, badan yang dipimpinnya telah menyalurkan bantuan makanan saban bulan kepada hampir enam juta rakyat Suriah untuk bagian awal tahun ini.

Bagaimana sikap negara-negara Arab yang kaya: Bahrain, Saudi Arabia, Qatar, Uni Emirat Arab, Oman, Kuwait, menghadapi krisis Suriah? Sikap tak peduli mereka inilah yang menjadi sorotan tajam dari publik dunia. Negara-negara ini mengunci pintunya rapat-rapat agar para pengungsi tidak masuk ke wilayah mereka. Apa memang rakyat Suriah sama dengan dengan kucing kurap? Luar biasa. Apakah karena rezim al-Assad bersekutu dengan Iran, sehingga para pengungsi yang jutaan itu jumlahnya dibiarkan mati terlantar? Pada tingkat ini, solidaritas Arab sedang berada di titik nol. Islam tidak usah disebut lagi karena sudah lama terpinggir dan tersingkir dari kehdupan kolektif mereka, apalagi jika menyangkut hubungan lintas negara. Islam telah digantikan oleh nasionalisme yang serba duniawi. Di mana itu peran OKI, di mana itu suara ulama? Semuanya membisu, hening, karena kepekaan nurani telah lumpuh total. Tetapi satu sumber mangatakan bahwa Bahrain telah menampung sekitar 5.000 pengungsi.

Apa yang bisa diharapkan dari peradaban Arab kontemporer? Tidak ada! Situasinya sedang berada di tikungan sejarah yang sangat tajam. Kita hanya berharap setelah mendapat pukulan sampai babak belur oleh palu godam sejarah, mereka akan sadar kembali dan tersentak: ternyata Islam yang telah tersingkir itu adalah penawar yang paling mujarab untuk mengobati penyakit peradaban Arab yang berat itu. Tetapi Islam yang kita maksud adalah Islam yang menjadikan doktrin “rahmat bagi alam semesta” sebagai tenda besar. Bukan Islam yang telah dirusak oleh sengketa mazhab dan kepentingan duniawi.

Pada ranah individual, Islam masih jadi rujukan oleh sebagian besar orang Arab. Yang merusak citra Islam adalah kelakuan penguasa dan elite politiknya dan tidak jarang berkolaborasi dengan ulama yang buta dunia, sekalipun untaian tasbih masih menggantung di tangan. Inilah drama psiko-kultural yang sangat menyayat hati dan melelahkan kita semua. Kebanyakan pihak luar tampaknya tidak peduli apakah Suriah bakal hancur lebur, tidak penting bagi mereka.

Angka-angka dan kecenderungan politik berikut ini akan menolong kita untuk lebih memahami lebih dekat kompleksitas krisis Suriah ini. Penduduk Suriah berjumlah 23 juta terdiri dari Suni Arab 60 persen, Arab-Alawiyin 12 persen (al-Assad berada dalam kelompok ini), Suni-Kurdi 9 persen, Kristen Ortodoks 9 persen, Kristen Armenia 4 persen, Druz Arab 3 persen, Arab-Ismaili 2 persen, dan etnis Turki-Sirkasia-Yahudi-Yunani 1 persen.

Peta ini menggambarkan bahwa jumlah golongan Suni (Arab dan Kurdi) adalah 69 persen. Faksi Suni ini sebagian melawan rezim al-Assad, sebagian yang lain mendukung berdasarkan kepentingan dan keamanan masing-masing. Kelompok Alawiyun juga tidak semua sebagai pendukung rezim al-Assad, bahkan ada yang melawannya.

Di antara tokoh Alawiyun pembangkang adalah artis Suriah, Fadwa Soliman, yang pusat perlawanannya ada di Kota Homs. Penduduk Kristen sebagian mendukung al-Assad demi perlindungan yang mereka dapatkan karena takut terhadap kaum Salafi yang muncul di era Musim Semi Arab yang bisa mengancam mereka. Sebagian yang lain menjadi kelompok oposisi yang bergabung dengan Free Syrian Army (Tentara Suriah Merdeka) yang Kristen.

Kelompok Salafi yang Suni bahkan mengatakan bahwa kaum Alawiyun adalah kafir. Sikap Suni-Kurdi berdiri sebagai golongan ketiga yang tidak aktif mendukung atau melawan pemerintah. Mereka telah memiliki semacam otonomi di wilayah Suriah utara dan timur laut. Faksi Druz yang kecil yang tinggal di selatan Provinsi Sweida bersikap oposisi terhadap rezim al-Assad.

Etnik Turki Suriah umumnya berada di belakang kaum pemberontak. Kemudian ada pula sekitar 500 ribu Suni-Palestina-Arab di Suriah. Mereka terbelah: pendukung rezim atau menjadi bagian dari kelompok perlawanan.

Demikian rumitnya peta krisis Suriah ini. Sektarianisme telah semakin krisis yang semula dipicu oleh cita-cita kebebasan yang murni melawan sistem politik otoritarian al-Assad. Saya tidak punya catatan terperinci tentang persentase para pengungsi yang berasal dari berbagai kelompok dan sekte di atas.

Yang jelas, semua pengungsi adalah manusia menderita yang minta ditolong, tidak peduli apa latar belakang mereka. Dari sisi inilah kita menilai sikap negara-negara Arab yang kaya minyak, tetapi mengunci pintu untuk para pengungsi sebagai sesuatu yang tidak beradab. Negara-negara yang telah menampung para pengungsi adalah Turki sebanyak 1.939.999, jiwa, negara kecil Lebanon 1.172.753, Irak 249.726, Yordania 629.245, dan Mesir 132.375. Adapun Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Oman, Uni Emirat Arab: nol. Menurut beberapa sumber dan sudah menerima beberapa pengungsi, menurut sumber yang lain, tetapi jumlahnya tidak signifikan.

Angka-angka untuk Eropa: Jerman 105 ribu jiwa, Inggris 5.102, Prancis 500, dan Yunani 88.204. Swedia 40 ribu, Austria 18 ribu, Armenia 17 ribu, Italia 4.600, Bulgaria 4.500, Rumania 1.300, Polandia 150. Kemudian untuk negara Barat lainnya, Amerika Serikat 1.500, Kanada 2.374. Untuk Amerika Latin, Brasil 2.077, Kolombia 100, Uruguay 100, Meksiko 30.

Hingga 29 Agustus 2015, pengungsi yang terdaftar pada United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) atau Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi, sejumlah 4.088.078. Rakyat Suriah yang tewas sejak Maret 2011 lebih dari 220 ribu. Cobalah tuan dan puan bayangkan, sekiranya pengungsi Indonesia yang berserakan di berbagai belahan dunia akibat perang saudara, misalnya, apa yang bisa kita perbuat dan katakan, kecuali merintih, meraung, dan putus asa. Mungkin dari perspektif inilah Bung Karno dulu tidak melakukan perlawanan saat tentara dan kekuatan sipil bersama-sama mendongkel posisi kepresidenannya.

Sebab, jika dia hanya memikirkan kedudukannya dan memberikan perlawanan, pendukungnya di kalangan sipil masih cukup banyak, di samping dukungan Angkatan Laut, terutama KKO dan Angkatan Udara. Tetapi pasti akibatnya perang saudara dengan korban yang tak terhingga akan meledak. Bung Karno tidak rela jika Indonesia berantakan.

Al-Assad tidak mau belajar dari Bung Karno. Demi kekuasaan, dia tega melihat Suriah menjadi abu dan berlumur darah, sementara negara-negara Arab yang kaya lebih suka sebagai penonton. 

Oleh sebab itu, dengan belajar dari krisis Suriah, kita rakyat Indonesia wajib menjaga keutuhan bangsa, dan pemimpin kita jangan berlagak pilon. Jika kita tidak pandai-pandai memelihara dan menjaga bangsa ini, tidak ada jaminan bahwa Indonesia akan tetap utuh untuk selama-lamanya. Percikan api neraka Suriah jangan sampai menjalar ke bagian dunia lainnya. Semoga.

Oleh: Ahmad Syafii Maarif