Islamoderat.com ~ Foto ini membuatku bahagia pagi ini. Saya bagian dari yang waras itu. Untuk diketahui, saya bukan menolak keberadaan makhluk yang mempaparkan diri dan terpapar LBGT. Bukan itu posisiku. Mereka makhluk dan hamba Tuhan. Sama dengan saya.
Sejarah kabarkan, ada yang lahir bawa potensi transgender. Kehendak Tuhan. Fiqh Islam bicara detail hal itu. Tapi saya lebih percaya ini buah kapitalisme dan hedonisme. Bentukan sosial. Budaya anti agama. Cukuplah kisah adzab bagi kaum Luth. Sadom dan Gemorah. Pun keras sikap Hadis Rasulullah pada prilaku menyimpang & pengidap penyakit sosial ini. Mestikah saya abaikan imanku hanya karena konstruksi psikologi sekuler, panduan PBB, terus mempertanyakan apa maksud Tuhan adakan LGBT?lho, katanya manusia modern ingin lepas dari takdir?Tuhan serupa tukang jam. Memuja freewill dan mampu mandiri. Kok tiba2 jadi jabariyah untuk LGBT?Kok jadi fatalis?
Yang saya tolak tuntutan mereka untuk disetarakan hak penyaluran seksual mereka sebagaimana manusia yang normal, sehat dan lurus. Yang saya tentang selera dan syahwat yang salah alamat itu. Lebih-lebih minta hak sah teologis. Yang saya tolak tuntut kebebasan untuk, nantinya melenggang dan bermesraan sebagaimana ditunjukkan di negara2 yang zero panduan iman, sekuler dalam arti menolak peranan agama, dan berselimutkan materialisme dan hedonisme.
Normal, lurus dan sehat itu sebagaimana Adam kepada Hawa. Keduanya menikmati seks sebagai wasilah reproduksi, beranak.Seks itu juga untuk bersenang-nikmat searah nilai-nilai agama. Melalui anugerah alat kelamin laki-laki kepada prempuan. Alu kepada lesung. Bukan yang lain. Bukan alu & alu beranggar. Bukan lesung & lesung bertumbuk. Ini penyimpangan fungsi dan kodrat.
Saya tak berhasrat menegoisasikan atau menyelaraskan Islam dengan fenomena sosial. Lebih2 yang tumbuh dari tanah sosial-budaya yang emoh, alergi dan menolak iman dan agama.
Sepemahaman saya setiap agama hadir untuk koreksi kondisi, menawarkan cahaya, arahan reformasi, dan menawarkan kemulian manusia. Bukan memaksa agama menari atas tabuhan dunia.
Kalau bukan dengan nilai-nilai iman dan agama, dengan apa lagi kita menatap dan melangkah dalam hidup dan kehidupan ini?Adakah sumber spiritualisme dan kesadaran makna diluar keduanya?
Jadi apa solusinya?Mari kembali ke tuntunan iman, agama dan nilai-nilai luhur ajaran para Nabi. Kok saya tidak pernah baca ada seorang Nabi pun yang toleran dengan prilaku hidup dan seks sesama jenis ini ya?Adakah jejak teks dan ekskavasi arkeologis yang bisa saya baca ada agama, nabi dan kaumwaras toleran pada penyimpangan ini?
Bila mau, mari jangan turuti budaya hedonisme, pendewaan seks dan pemujaan kebebasan. Alhakum al-takatsur. Hatta zurtum al-maqabir...
Sembahlah kesenangan itu hingga jelang kematianmu!
* Mohammad Monib, via facebook
https://www.facebook.com/moh.monib?fref=nf