Islamoderat.com ~ Masjid. Ya..mungkin terdengar sangat biasa dalam alam bawah sadar kita. Hampir tiap hari kita mendengar nama tersebut. Tapi taukah kita, mengenai seberapa jauh kebermanfaatan masjid bagi kelangsungan hidup kita, selaku umat Muslim? Tanpa disadari, ternyata tempat yang barangkali biasa kita manfaatkan untuk sekedar istirahat bila di perjalanan ini, adalah saksi sejarah berlangsungnya “Kenabian dan Kerasulan Muhammad Saw.”.
Tempat yang Fungsional
Ia dikenal sebagai salah satu tempat yang sangat bersejarah dalam perjalanan peradaban umat Islam. Tidak hanya umat Islam di Timur Tengah saja, melainkan Islam Indonesia juga sudah sangat kental dan membudaya dengan bangunan yang biasa disebut dengan baît al-Allâh ini. Hal ini bisa ditinjau melalui pengalaman historis masuknya Islam di dan ke Indonesia. Di samping sebagai tempat dan bangunan pertama yang didirikan oleh Rasulullah Saw., masjid sedikit banyak menyimpan makna filosofi yang besar. Salah satu makna dasar yang perlu diungkap mengenai “masjid” adalah dari sebuah pertanyaan; mengapa Rasulullah Muhammad Saw. lebih mendahulukan membangun masjid daripada tempat yang lain?
Sebagaimana telah diketahui, pada masa awal Islam, baik di Timur Tengah maupun di Indonesia, masjid tidak hanya sebagai tempat ritual --ibadah-- syariat saja, melainkan ia sebagai pusat segala kebutuhan dan keperluan umat. Baik sebagai tempat permusyawaratan rakyat dan pemerintahan (istilah sekarang: Gedung Pemerintahan seperti DPR, DPRD, dsb.), maupun sebagai tempat strategis dalam melakukan ekonomi-muamalah seperti jual beli dan barter, (di era sekarang dikenal dengan “toko bagus”). Masjid juga tempat yang sangat elok nan etis untuk menyegarkan fikiran melalui diskusi-diskusi serta pendidikan keilmuan Islam. Bahkan di masa kini, masjid masih sebagai pusat pertemuan (silaturrahmi dan silaturrahim) antar insan, contohnya ketika bertepatan pada Bulan Ramadhan, hari Idul Fitri dan Idul Adha. Tidak sedikit pula, melalui masjid, para insan merasakan ketenangan karena sudah mendapatkan berbagai hal yang mereka butuhkan dalam hidupnya. Melalui masjid, banyak yang mendapat rizki, ilmu, bahkan jodoh.
Oleh karenanya, tidak salah jika Rasulullah Saw. lebih memilih untuk mendirikan rumah Allah terlebih dahulu, sebelum mendirikan tempat-tempat yang lain. Kalau sudah berdiri rumah Allah, apa lah yang kurang berkah nan manfaatnya di sana? Rumah seorang konglomerat saja, di dalamnya berisi berbagai keperluan dan kebutuhan tamu. Apalagi ini adalah rumah sang pemberi modal serta rumah yang menjadikan seseorang konglomerat? Betapa agungnya rumah tersebut, betapa lengkapnya perabotan serta sarana-prasarana rumah tersebut? Kita boleh jadi tak bisa membayangkannya, karena kita sebagai makhluk yang lemah, sangat lemah untuk membayangkan dan memikirkan hal itu. Untuk itu, kita hanya diwajibkan meyakininya saja, karena tidak mungkin mampu kita bisa membayangkan apa-apa saja nikmat yang telah disediakan dan diberikan oleh-Nya untuk kita, salah satunya melalui rumah-Nya tersebut, yaitu masjid.
Az-Zuhud Tempo Doeloe
Di Jawa, sejak dulu hingga kini, masjid dipercaya sebagai tempat yang sangat sakral. Sehingga banyak di antara mereka yang apabila hendak mengamankan sekaligus menenangkan diri, melangkahkan kakinya ke masjid. Seperti halnya, di Masjid Az-Zuhud Petanahan. Masjid yang direnovasi pada tanggal 1 Muharram 1416H atau bertepatan dengan 31 Mei 1995 ini, tergolong sebagai masjid yang bersejarah di daerah Pantai Selatan Kebumen. Bagaimana tidak, berbagai cerita menarik yang tergolong sebagai sejarah lisan, sangat penting untuk diungkap di sini. Masjid kharismatik yang diresmikan oleh Bupati H. Amin Soedibyo pada 6 Juli 1998, beserta kawasan --bagian belakang-- Pegadaian kota Petanahan, menyimpan sejarah (politik) dan peradaban Islam yang tersembunyi.
Hal menarik dari inti sejarah lisan yang shahîh dari masyarakat, yaitu ketika terjadinya percobaan pengeboman dari Gombong ke Masjid Az-Zuhud ini oleh kaum kolonial Belanda, sekitar tahun 1969. Saat itu, sedang gencar-gencarnya rencana pengeboman yang hendak dilakukan oleh Belanda pada beberapa titik di wilayah Kebumen yang dianggap berbahaya, salah satunya adalah kawasan Petanahan, khususnya di Masjid Agung Petanahan. Sebab sebagaimana masanya, masjid sebagai markaz laskar jihad sekaligus perkumpulan para kiai, sangat ditakuti oleh kaum kolonis.
Dianggap berbahaya karena banyak melakukan aksi-aksi perlawanan terhadap mereka (kolonial-Belanda). Baik dengan cara memprovokasi masyarakat Muslim untuk melawan orang kafir (yang pada saat itu adalah kaum penjajah), maupun dengan melakukan hal-hal lain yang benar-benar membahayakan serta mengancam keberadaan Belanda di tanah air ini. Pada saatnya pula, tidak berpikir lama, Belanda meluncurkan beberapa bom ke masjid ini. Dengan -kecanggihan- settingan arah bom yang seharusnya menurut akal-teknologi sudah tepat, mengenai sasaran, namun apa daya, dengan kebesaran Allah bom tersebut pun hanya hinggap sampai utara masjid (sekitar 150meter dari masjid). Atau jika kita ingin mengetahui lokasi jatuhnya bom tersebut, sekarang kita bisa menjumpai Pegadaian Petanahan (Salamun, 2014).
Karena menurut beberapa saksi sejarah, kawasan belakang Pegadaian lah yang saat itu terkena bom. Kejadian ini tidak hanya sekali, dua kali terjadi. Namun, lebih dari tiga kali (Salamun, 2014). Sekali lagi ini bukan mitos atau pun tahayul, akan tetapi fakta sejarah yang hampir terkubur oleh waktu dan masa.
Nah konon, pada masa penjajahan Belanda, banyak masyarakat yang memanfaatkan sekaligus memfungsikan Masjid Agung Petanahan ini sebagai tempat persembunyian dari kaum kolonial. Karena mereka tahu kalau bersembunyi atau minimal menapakkan kakinya di Masjid Agung ini, maka mereka besar kemungkinan akan selamat dari penjarahan serta berbagai ancaman dari kaum imperialis-koloni. Ini lah salah satu karomah yang diberikan Allah Swt. kepada Masjid Agung Petanahan di tempo doloe.
Az-Zuhud Masa Kini
Boleh jadi, sesuai namanya "Az-Zuhud", yang dalam istilah tasawuf berarti “mengasingkan diri dari --kenegatifan-- duniawi” (Mahmud Yunus, 2009: 158), termasuk terasingkan diri dari hal-hal negatif seperti bom dan semacamnya. Masjid yang sejak diresmikan tahun 1998 dan lambat laun semakin dibuat megah dengan sarana-prasarana ini, sampai saat ini masih digunakan oleh masyarakat Petanahan dan sekitarnya untuk melaksanakan ritual-ritual ibadah dan majelis ilmu. Kehidupan keberagamaan (Islam) di masjid ini pun hidup berdampingan, tanpa adanya konflik ideologis, yang mengesankan kekolotan dalam beragama. Buktinya, bisa dilihat sendiri ketika shalat di malam hari pada bulan Ramadhan, acara-acara besar, khataman, kegiatan TPQ (yang maju, pesat dan berkembang). Bahkan, untuk lebih menggairahkan masyarakat serta jama`ah Masjid Agung Petanahan dalam kesatuan dan persatuan umat, takmir Masjid membuat program kegiatan baru yang tidak tanggung-tanggung, yaitu mengadakan kajian keilmuan Islam oleh seorang pakar keilmuan keislaman (ulama) yang telah diakui kredibilitasnya di tanah Jawa.
Kajian keilmuan maupun keislaman, memang akan lebih baik diisi oleh seorang yang moderat. Bukan hanya moderat dalam pemikirannya, akan tetapi moderat dalam sikap dan tindakannya. Dan ini terbukti, ketika dewan pengurus atau takmir Masjid Az-Zuhud menunjuk Dr. KH. Zuhrul Anam untuk mengisi pengkajian di masjid tersebut tiap selapan hari sekali, tepatnya pada malam Jum`at Pon. Itu artinya, dari beberapa ideologi jama`ah Masjid Az-Zuhud Petanahan yang berlatar belakang berbeda, mempunyai kepercayaan mendalam kepada kiai yang seringkali disapa dengan “Gus Anam” ini untuk memberi pencerahan keilmuan kepada mereka.
Padahal membangun kepercayaan bukanlah perkara mudah. Dalam kacamata Musa Asy`ari (2002, 29), seseorang bisa saja memperoleh kepercayaan dari orang lain dengan mudah, tetapi kalau tidak bisa memeliharanya, ia juga akan kehilangan kepercayaan yang telah diterimanya itu dan ia akan menerima banyak kesulitan. Sebaliknya, kalau seseorang dapat memelihara kepercayaan dengan baik, maka dalam banyak hal kegiatan hidupnya selalu mendapatkan kemudahan, banyak peluang ditawarkan dan banyak kesempatan terbuka. Itu lah gambaran kecil dari bangunan kepercayaan. Sebagai kiai yang bijak, dalam hal ini Gus Anam sangat tepat jika dipercaya oleh masyarakat Petanahan untuk mendobrak pemikiran keislaman masyarakat di sana, agar tetap mempertahankan tradisi toleransi, humanisme, nonliberalisme, dan anti-radikalisme.
Gus Anam dan Revolusi Kebudayaan
Gus Anam selama ini dikenal sebagai seorang ulama yang moderat, tidak condong ke kanan, tidak pula lebih condong ke kiri. Terhitang mulai tahun 2015 hingga saat ini, kajian keislaman yang berlangsung di Masjid Az-Zuhud Petanahan tidak pernah menyebabkan terjadinya konflik horizontal di kalangan masyarakat. Bahkan jama`ah pengajian pun lambat laun semakin bertambah. Ini membuktikan bahwa Doktor yang juga Pengasuh Pondok Pesantren At-Taujieh Al-Islamiy, Leler Banyumas ini dapat diterima dengan lapang oleh masyarakat Petanahan dan sekitarnya. Tidak heran, sebab beliau merupakan ulama asal Banyumas Jawa Tengah, yang telah menimba ilmu di Mekkah pada tahun 1992. Tepatnya di Ribath Al-Hanafiyyah (madzhab Hanafi), di bawah asuhan Dr. Ahmad Nur Syekh. Di samping juga terkadang mendapat pengajaran langsung dari Sayyid Muhammad `Alawî al-Mâlikî (imam Ahlus Sunnah Wal Jama'ah abad XXI), ketika gurunya, Dr. Ahmad Nur Syekh mengundangnya untuk mengajar di ribath (pondok)-nya.
Melihat latar belakang pendidikan singkatnya, mengindikasikan bahwa Gus Anam merupakan sosok ulama yang sedang diperlukan oleh masyarakat Kebumen, khususnya masyarakat Petanahan yang sedang sakit. Bagaimana tidak, ketika akhir-akhir ini media kerapkali digegerkan dengan maraknya kriminalitas yang melanda daerah yang dikenal masyarakat Kebumen sebagai wilayah penghasil makam-makam waliyullah ini. Oleh sebab itu, dengan berjalannya kajian keislaman oleh seorang intelektual Muslim seperti Dr. KH. Zuhrul Anam, revolusi kebudayaan di daerah Petanahan ini diharapkan bisa terealisasi. Sebab, sebagaimana dalam pandangan Musa Asy`ari (2002: 22), sejarah jatuh bangunnya bangsa-bangsa adalah jatuh bangunnya puncak-puncak kebudayaan, dan sejarah juga telah mencatat bergesernya puncak-puncak kebudayaan itu.
Menurut Musya Asy`ari, upaya menuju revolusi kebudayaan harus segera dilakukan dalam masyarakat yang sedang dilanda suatu krisis multidimensi yang sedang berkecamuk dalam realitas kehidupannya, seperti yang akhir-akhir ini mencoreng citra manis daerah Petanahan ini. Lanjutnya, Musa Asy`ari (2002: 22-23) menjelaskan bahwa krisis yang bersifat multidimensi itu akan berakibat hancurnya kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Krisis itu terjadi karena kesalahannya sendiri yang semula tidak disadarinya, dan semakin lama berkembang menjadi amat kompleks. Baik persoalan mengenai fenomena pertikaian kekuasaan antar kelompok, fanatisme beragama, problem-problem sosial hingga ekonomi.
Nah, melihat krisis multidimensi itu, maka dilakukanlah perubahan total paradigma berpikir masyarakat, sebab krisis itu terjadi karena paradigma berpikirnya yang menyimpang, atau yang dalam bahasa Musa Asy`ari sering disebut sebagai pemikiran jahiliyah (Musa Asy`ari, 2002: 23). Ini seperti upaya revolusi kebudayaan yang dilakukan Rasulullah Saw. kepada kaumnya ketika masa jahiliyah. Dengan cara mengubah secara cepat, radikal, fundamental terhadap paradigma berpikir, dengan diikuti pula melalui perubahan dan penataan sistem hidup kemasyarakatan menjadi suatu masyarakat yang egaliter, demokratis dan menjaga pluralitas. Akan tetapi, walaupun dengan cara yang cepat, radikal dan fundamental, menurut penulis cara yang dilakukan Rasulullah Saw. dalam melakukan revolusi kebudayaan tersebut juga tidak keluar dari kerangka manhaj yang moderat (wasathiyyah), toleransi (tasamuhiyyah), reformis (islahiyyah), dinamis (tathawwuriyyah) dan metodologis (manhajiyyah). Tanpa adanya konsep yang demikian, niscaya kedamaian tidak akan terlaksana. Konsep inilah yang kemudian disebut oleh Nasaruddin Umar, dengan konsep teologi inklusif (Nasaruddin Umar, 2015: 2).
Oleh karena itu, dengan adanya kajian keislaman yang diarahkan oleh Gus Anam, diharapkan daerah ini akan mampu merefreshing, dan mengembalikan Petanahan menjadi daerah wisata religi yang sebenar-benarnya. Artinya, tatanan sosial-ekonomi dan gagasan keislaman di sini dapat tertata kembali sedemikian rupa sebagaimana yang dicita-citakan oleh seluruh rakyat dan masyarakat. Ibarat Petanahan masa doeloe, yang menunjukkan eksistensinya sebagai daerah yang disegani oleh lawan (kolonialis-imperialis), namun tetap disayangi bahkan dicintai oleh kawan karena kemuliaannya. Dengan demikian, upaya ini diharapkan mampu membawa berkibarnya slogan “Kebumen Beriman” dengan sesungguh-sungguhnya, sehingga slogan “Beriman” pun benar-benar akan teraplikasikan sebaik mungkin.
Tempat yang Fungsional
Ia dikenal sebagai salah satu tempat yang sangat bersejarah dalam perjalanan peradaban umat Islam. Tidak hanya umat Islam di Timur Tengah saja, melainkan Islam Indonesia juga sudah sangat kental dan membudaya dengan bangunan yang biasa disebut dengan baît al-Allâh ini. Hal ini bisa ditinjau melalui pengalaman historis masuknya Islam di dan ke Indonesia. Di samping sebagai tempat dan bangunan pertama yang didirikan oleh Rasulullah Saw., masjid sedikit banyak menyimpan makna filosofi yang besar. Salah satu makna dasar yang perlu diungkap mengenai “masjid” adalah dari sebuah pertanyaan; mengapa Rasulullah Muhammad Saw. lebih mendahulukan membangun masjid daripada tempat yang lain?
Sebagaimana telah diketahui, pada masa awal Islam, baik di Timur Tengah maupun di Indonesia, masjid tidak hanya sebagai tempat ritual --ibadah-- syariat saja, melainkan ia sebagai pusat segala kebutuhan dan keperluan umat. Baik sebagai tempat permusyawaratan rakyat dan pemerintahan (istilah sekarang: Gedung Pemerintahan seperti DPR, DPRD, dsb.), maupun sebagai tempat strategis dalam melakukan ekonomi-muamalah seperti jual beli dan barter, (di era sekarang dikenal dengan “toko bagus”). Masjid juga tempat yang sangat elok nan etis untuk menyegarkan fikiran melalui diskusi-diskusi serta pendidikan keilmuan Islam. Bahkan di masa kini, masjid masih sebagai pusat pertemuan (silaturrahmi dan silaturrahim) antar insan, contohnya ketika bertepatan pada Bulan Ramadhan, hari Idul Fitri dan Idul Adha. Tidak sedikit pula, melalui masjid, para insan merasakan ketenangan karena sudah mendapatkan berbagai hal yang mereka butuhkan dalam hidupnya. Melalui masjid, banyak yang mendapat rizki, ilmu, bahkan jodoh.
Oleh karenanya, tidak salah jika Rasulullah Saw. lebih memilih untuk mendirikan rumah Allah terlebih dahulu, sebelum mendirikan tempat-tempat yang lain. Kalau sudah berdiri rumah Allah, apa lah yang kurang berkah nan manfaatnya di sana? Rumah seorang konglomerat saja, di dalamnya berisi berbagai keperluan dan kebutuhan tamu. Apalagi ini adalah rumah sang pemberi modal serta rumah yang menjadikan seseorang konglomerat? Betapa agungnya rumah tersebut, betapa lengkapnya perabotan serta sarana-prasarana rumah tersebut? Kita boleh jadi tak bisa membayangkannya, karena kita sebagai makhluk yang lemah, sangat lemah untuk membayangkan dan memikirkan hal itu. Untuk itu, kita hanya diwajibkan meyakininya saja, karena tidak mungkin mampu kita bisa membayangkan apa-apa saja nikmat yang telah disediakan dan diberikan oleh-Nya untuk kita, salah satunya melalui rumah-Nya tersebut, yaitu masjid.
Az-Zuhud Tempo Doeloe
Di Jawa, sejak dulu hingga kini, masjid dipercaya sebagai tempat yang sangat sakral. Sehingga banyak di antara mereka yang apabila hendak mengamankan sekaligus menenangkan diri, melangkahkan kakinya ke masjid. Seperti halnya, di Masjid Az-Zuhud Petanahan. Masjid yang direnovasi pada tanggal 1 Muharram 1416H atau bertepatan dengan 31 Mei 1995 ini, tergolong sebagai masjid yang bersejarah di daerah Pantai Selatan Kebumen. Bagaimana tidak, berbagai cerita menarik yang tergolong sebagai sejarah lisan, sangat penting untuk diungkap di sini. Masjid kharismatik yang diresmikan oleh Bupati H. Amin Soedibyo pada 6 Juli 1998, beserta kawasan --bagian belakang-- Pegadaian kota Petanahan, menyimpan sejarah (politik) dan peradaban Islam yang tersembunyi.
Hal menarik dari inti sejarah lisan yang shahîh dari masyarakat, yaitu ketika terjadinya percobaan pengeboman dari Gombong ke Masjid Az-Zuhud ini oleh kaum kolonial Belanda, sekitar tahun 1969. Saat itu, sedang gencar-gencarnya rencana pengeboman yang hendak dilakukan oleh Belanda pada beberapa titik di wilayah Kebumen yang dianggap berbahaya, salah satunya adalah kawasan Petanahan, khususnya di Masjid Agung Petanahan. Sebab sebagaimana masanya, masjid sebagai markaz laskar jihad sekaligus perkumpulan para kiai, sangat ditakuti oleh kaum kolonis.
Dianggap berbahaya karena banyak melakukan aksi-aksi perlawanan terhadap mereka (kolonial-Belanda). Baik dengan cara memprovokasi masyarakat Muslim untuk melawan orang kafir (yang pada saat itu adalah kaum penjajah), maupun dengan melakukan hal-hal lain yang benar-benar membahayakan serta mengancam keberadaan Belanda di tanah air ini. Pada saatnya pula, tidak berpikir lama, Belanda meluncurkan beberapa bom ke masjid ini. Dengan -kecanggihan- settingan arah bom yang seharusnya menurut akal-teknologi sudah tepat, mengenai sasaran, namun apa daya, dengan kebesaran Allah bom tersebut pun hanya hinggap sampai utara masjid (sekitar 150meter dari masjid). Atau jika kita ingin mengetahui lokasi jatuhnya bom tersebut, sekarang kita bisa menjumpai Pegadaian Petanahan (Salamun, 2014).
Karena menurut beberapa saksi sejarah, kawasan belakang Pegadaian lah yang saat itu terkena bom. Kejadian ini tidak hanya sekali, dua kali terjadi. Namun, lebih dari tiga kali (Salamun, 2014). Sekali lagi ini bukan mitos atau pun tahayul, akan tetapi fakta sejarah yang hampir terkubur oleh waktu dan masa.
Nah konon, pada masa penjajahan Belanda, banyak masyarakat yang memanfaatkan sekaligus memfungsikan Masjid Agung Petanahan ini sebagai tempat persembunyian dari kaum kolonial. Karena mereka tahu kalau bersembunyi atau minimal menapakkan kakinya di Masjid Agung ini, maka mereka besar kemungkinan akan selamat dari penjarahan serta berbagai ancaman dari kaum imperialis-koloni. Ini lah salah satu karomah yang diberikan Allah Swt. kepada Masjid Agung Petanahan di tempo doloe.
Az-Zuhud Masa Kini
Boleh jadi, sesuai namanya "Az-Zuhud", yang dalam istilah tasawuf berarti “mengasingkan diri dari --kenegatifan-- duniawi” (Mahmud Yunus, 2009: 158), termasuk terasingkan diri dari hal-hal negatif seperti bom dan semacamnya. Masjid yang sejak diresmikan tahun 1998 dan lambat laun semakin dibuat megah dengan sarana-prasarana ini, sampai saat ini masih digunakan oleh masyarakat Petanahan dan sekitarnya untuk melaksanakan ritual-ritual ibadah dan majelis ilmu. Kehidupan keberagamaan (Islam) di masjid ini pun hidup berdampingan, tanpa adanya konflik ideologis, yang mengesankan kekolotan dalam beragama. Buktinya, bisa dilihat sendiri ketika shalat di malam hari pada bulan Ramadhan, acara-acara besar, khataman, kegiatan TPQ (yang maju, pesat dan berkembang). Bahkan, untuk lebih menggairahkan masyarakat serta jama`ah Masjid Agung Petanahan dalam kesatuan dan persatuan umat, takmir Masjid membuat program kegiatan baru yang tidak tanggung-tanggung, yaitu mengadakan kajian keilmuan Islam oleh seorang pakar keilmuan keislaman (ulama) yang telah diakui kredibilitasnya di tanah Jawa.
Kajian keilmuan maupun keislaman, memang akan lebih baik diisi oleh seorang yang moderat. Bukan hanya moderat dalam pemikirannya, akan tetapi moderat dalam sikap dan tindakannya. Dan ini terbukti, ketika dewan pengurus atau takmir Masjid Az-Zuhud menunjuk Dr. KH. Zuhrul Anam untuk mengisi pengkajian di masjid tersebut tiap selapan hari sekali, tepatnya pada malam Jum`at Pon. Itu artinya, dari beberapa ideologi jama`ah Masjid Az-Zuhud Petanahan yang berlatar belakang berbeda, mempunyai kepercayaan mendalam kepada kiai yang seringkali disapa dengan “Gus Anam” ini untuk memberi pencerahan keilmuan kepada mereka.
Padahal membangun kepercayaan bukanlah perkara mudah. Dalam kacamata Musa Asy`ari (2002, 29), seseorang bisa saja memperoleh kepercayaan dari orang lain dengan mudah, tetapi kalau tidak bisa memeliharanya, ia juga akan kehilangan kepercayaan yang telah diterimanya itu dan ia akan menerima banyak kesulitan. Sebaliknya, kalau seseorang dapat memelihara kepercayaan dengan baik, maka dalam banyak hal kegiatan hidupnya selalu mendapatkan kemudahan, banyak peluang ditawarkan dan banyak kesempatan terbuka. Itu lah gambaran kecil dari bangunan kepercayaan. Sebagai kiai yang bijak, dalam hal ini Gus Anam sangat tepat jika dipercaya oleh masyarakat Petanahan untuk mendobrak pemikiran keislaman masyarakat di sana, agar tetap mempertahankan tradisi toleransi, humanisme, nonliberalisme, dan anti-radikalisme.
Gus Anam dan Revolusi Kebudayaan
Gus Anam selama ini dikenal sebagai seorang ulama yang moderat, tidak condong ke kanan, tidak pula lebih condong ke kiri. Terhitang mulai tahun 2015 hingga saat ini, kajian keislaman yang berlangsung di Masjid Az-Zuhud Petanahan tidak pernah menyebabkan terjadinya konflik horizontal di kalangan masyarakat. Bahkan jama`ah pengajian pun lambat laun semakin bertambah. Ini membuktikan bahwa Doktor yang juga Pengasuh Pondok Pesantren At-Taujieh Al-Islamiy, Leler Banyumas ini dapat diterima dengan lapang oleh masyarakat Petanahan dan sekitarnya. Tidak heran, sebab beliau merupakan ulama asal Banyumas Jawa Tengah, yang telah menimba ilmu di Mekkah pada tahun 1992. Tepatnya di Ribath Al-Hanafiyyah (madzhab Hanafi), di bawah asuhan Dr. Ahmad Nur Syekh. Di samping juga terkadang mendapat pengajaran langsung dari Sayyid Muhammad `Alawî al-Mâlikî (imam Ahlus Sunnah Wal Jama'ah abad XXI), ketika gurunya, Dr. Ahmad Nur Syekh mengundangnya untuk mengajar di ribath (pondok)-nya.
Melihat latar belakang pendidikan singkatnya, mengindikasikan bahwa Gus Anam merupakan sosok ulama yang sedang diperlukan oleh masyarakat Kebumen, khususnya masyarakat Petanahan yang sedang sakit. Bagaimana tidak, ketika akhir-akhir ini media kerapkali digegerkan dengan maraknya kriminalitas yang melanda daerah yang dikenal masyarakat Kebumen sebagai wilayah penghasil makam-makam waliyullah ini. Oleh sebab itu, dengan berjalannya kajian keislaman oleh seorang intelektual Muslim seperti Dr. KH. Zuhrul Anam, revolusi kebudayaan di daerah Petanahan ini diharapkan bisa terealisasi. Sebab, sebagaimana dalam pandangan Musa Asy`ari (2002: 22), sejarah jatuh bangunnya bangsa-bangsa adalah jatuh bangunnya puncak-puncak kebudayaan, dan sejarah juga telah mencatat bergesernya puncak-puncak kebudayaan itu.
Menurut Musya Asy`ari, upaya menuju revolusi kebudayaan harus segera dilakukan dalam masyarakat yang sedang dilanda suatu krisis multidimensi yang sedang berkecamuk dalam realitas kehidupannya, seperti yang akhir-akhir ini mencoreng citra manis daerah Petanahan ini. Lanjutnya, Musa Asy`ari (2002: 22-23) menjelaskan bahwa krisis yang bersifat multidimensi itu akan berakibat hancurnya kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Krisis itu terjadi karena kesalahannya sendiri yang semula tidak disadarinya, dan semakin lama berkembang menjadi amat kompleks. Baik persoalan mengenai fenomena pertikaian kekuasaan antar kelompok, fanatisme beragama, problem-problem sosial hingga ekonomi.
Nah, melihat krisis multidimensi itu, maka dilakukanlah perubahan total paradigma berpikir masyarakat, sebab krisis itu terjadi karena paradigma berpikirnya yang menyimpang, atau yang dalam bahasa Musa Asy`ari sering disebut sebagai pemikiran jahiliyah (Musa Asy`ari, 2002: 23). Ini seperti upaya revolusi kebudayaan yang dilakukan Rasulullah Saw. kepada kaumnya ketika masa jahiliyah. Dengan cara mengubah secara cepat, radikal, fundamental terhadap paradigma berpikir, dengan diikuti pula melalui perubahan dan penataan sistem hidup kemasyarakatan menjadi suatu masyarakat yang egaliter, demokratis dan menjaga pluralitas. Akan tetapi, walaupun dengan cara yang cepat, radikal dan fundamental, menurut penulis cara yang dilakukan Rasulullah Saw. dalam melakukan revolusi kebudayaan tersebut juga tidak keluar dari kerangka manhaj yang moderat (wasathiyyah), toleransi (tasamuhiyyah), reformis (islahiyyah), dinamis (tathawwuriyyah) dan metodologis (manhajiyyah). Tanpa adanya konsep yang demikian, niscaya kedamaian tidak akan terlaksana. Konsep inilah yang kemudian disebut oleh Nasaruddin Umar, dengan konsep teologi inklusif (Nasaruddin Umar, 2015: 2).
Oleh karena itu, dengan adanya kajian keislaman yang diarahkan oleh Gus Anam, diharapkan daerah ini akan mampu merefreshing, dan mengembalikan Petanahan menjadi daerah wisata religi yang sebenar-benarnya. Artinya, tatanan sosial-ekonomi dan gagasan keislaman di sini dapat tertata kembali sedemikian rupa sebagaimana yang dicita-citakan oleh seluruh rakyat dan masyarakat. Ibarat Petanahan masa doeloe, yang menunjukkan eksistensinya sebagai daerah yang disegani oleh lawan (kolonialis-imperialis), namun tetap disayangi bahkan dicintai oleh kawan karena kemuliaannya. Dengan demikian, upaya ini diharapkan mampu membawa berkibarnya slogan “Kebumen Beriman” dengan sesungguh-sungguhnya, sehingga slogan “Beriman” pun benar-benar akan teraplikasikan sebaik mungkin.
Abdul Aziz Muslih
Santri Alumni Pondok Pesantren Al-Huda, Jetis, Kutosari, Kebumen/ Mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir IAIN Surakarta
Ditulis pada hari Sabtu, 30 April 2016
di Pucangan, Kartasura Jawa Tengah