Kisah Nabi Syu’aib



Jakarta, Muslimedianews ~ “Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat-amanat Tuhanku dan aku telah memberikan nasihat kepadamu. Maka bagaimana aku akan bersedih hati terhadap orang-orang kafir?” (Q.S. Al-A’raf : 93)

Nabi Syu’aib diutus oleh Allah di sebuah desa bernama Madyan (Ma’an, di Yordania). Sebuah desa yang memiliki lembah-lembah nan hijau. Dekat desa tersebut terdapat desa kecil bernama Al-Ayka. Suasana keduanya biasa namun tanahnya subur karena diguyur hujan. Pertanian dan padang rumput tumbuh subur sehingga penduduk hidup bahagia.

Penduduk desa Madyan adalah orang-orang tak beriman. Mereka adalah kaum penyembah berhala. Menurut mereka, berhala-berhala itulah yang memberi kehidupan kepada mereka. Atas hal tersebut, Nabi Syu’aib merasa sedih. Ia pun menyeru kepada mereka agar beriman kepada Allah dan meninggalkan penyembahan berhala.

Disamping penyembah berhala, mereka juga termasuk kaum yang curang. Allah memberikan segalanya kepada mereka. Segalanya tersedia di pasar, namun kebiasaan mereka amatlah buruk. Mereka curang dalam berjual beli. Sering mereka mengurangi ataupun menambah berat timbangan. Anggapan mereka adalah hal tersebut merupakan kebebasan.

Nabi Syu’aib merupakan orang yang pandai berkhotbah. Bahasa yang jelas dan didukung argumentasi yang kuat disertai dengan kebenaran dan keadilan. Kata-kata indah dan penyadaran dengan bahasa siggungan, merupakan keinginannya supaya penduduk Madyan hidup lebih baik. Ia tak mau nasib buruk menimpa kaumnya layaknya kaum Nuh, Saleh dan Hud.

Desa tersebut penduduknya terbagi dua kelompok. Kelompok beriman yang notabene kaum miskin dan kelompok kafir yang notabene orang kaya lagi kejam. Kelompok kafir ini selalu mengganggu dan mengancam Nabi Syu’aib dan kelompoknya. Kaum kafir selalu menolak apa yang diserukan oleh Nabi Syu’aib. Mereka memang keras kepala. Tak segan Nabi Syu’aib mengingatkan mereka akan murka Allah.

Pindah ke Al-Ayka

Segala upaya telah dilakukan oleh Nabi Syu’aib, namun mereka tetap ingkar walau diperingatkan akan murka Allah. Nabi Syu’aib pun meninggalkan mereka dan pergi ke desa sebelah yang bernama Al-Ayka. 

Kehidupan di desa Al-Ayka serupa dengan kehidupan di desa Madyan. Kehidupan makmur dan bahagia karena didukung faktor alam. Namun mereka tidak beriman kepada Allah dan menyembah berhala. Oleh sebab itu, Nabi Syu’aib menyeru kepada mereka agar kembali ke jalan yang diridhoi Allah.

Tidak pernah bosan Nabi Syu’aib mengajak mereka untuk meninggalkan penyembahan berhala. Tidak ada Tuhan yang pantas disembah kecuali Allah. Namun, mereka mengingkari bahkan mengejek Nabi Syu’aib. Mengatakan bahwa ajaran yang dibawa Nabi Syu’aib itu sesat. Bahkan mereka juga menyebut bahwa Nabi Syu’aib adalah seorang penyihir jahat. Mereka tak takut ketika diperingatkan akan murka Allah.

Kembali ke Madyan

Merasa seruannya tak digubris juga, Nabi Syu’aib kembali ke desa asalnya, Madyan. Perjuangan kembali dimulai antara kaum beriman dan kaum kafir. Mereka kini jauh lebih sadis dan kejam. Tak segan mereka mengancam, menghalangi dakwah bahkan sampai tega menyakiti kaum beriman.

Suatu hari, mereka mendatangi Nabi Syu’aib dan kaum beriman. Mereka mengancam akan mengusir Nabi Syu’aib dan pengikutnya dari desa. Namun, Nabi Syu’aib menjawab dengan bahasa halus dan sopan. Adu argumen, bersitegang pun terjadi. Mereka mengajak kaum beriman agar mengikuti ajaran kaum kafir. 

Nabi Syu’aib pun meninggalkan kaumnya. tetapi, mereka tidak tinggal diam begitu saja. Mereka terus memaksa Nabi Syu’aib dan kaum beriman mengikuti ajaran mereka. Mereka kerap menyakiti dan bahkan jika ada yang datang menemui Nabi Syu’aib, selalu mereka ancam dan halangi. 

Sungguh keras kepala dan zalim kaum Nabi Syu’aib. Tak mempan meski diperingatkan azab. Hingga suatu ketika mereka menjalankan aktivitas keseharian mereka, menyembah berhala dan bekerja, hukuman datang. Malam itu begitu lambat dan tiba-tiba gempa bumi dahsyat terjadi yang mengakibatkan Madyan menjadi reruntuhan. Al-Ayka pun juga tak luput dari hukuman Allah.

Allah menyelamatkan Nabi Syu’aib dan kaum yang beriman. Nabi Syu’aib menghabiskan sisa hidupnya di desa Madyan dengan menggembala ternak. Ketika ia berusia lanjut maka kedua putrinyalah yang meneruskan menggembala. Bukan hal ringan bagi keduanya dan ditambah mereka merasa malu karena hanya keduanyalah perempuan penggembala, mayoritas laki-laki. Hingga di kemudian hari datanglah seorang laki-laki dari pelarian, yakni Musa bin Imran. Lelaki yang melarikan diri dari penindasan dan kekejaman Firaun.




Diceritakan ulang oleh Danny Setiawan Ramadhan dari buku “The Greatest Stories of Al-Qur’an” karya Syekh Kamal As Sayyid