Kicauan Menag Soal Buka Warung di Bulan Puasa dan Netizen Media Radikal


Islamoderat.com ~

Oleh Waki Ats Tsaqofi
*

Baru-baru ini, menjelang puasa Ramadhan sosial media (Sosmed) ramai setelah Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin meminta agar tak ada pihak yang memaksa warung-warung ditutup selama berlangsungnya bulan Ramadhan. Dia berharap agar umat Islam menghormati sesama yang tidak menjalani puasa.

"Warung-warung tak perlu dipaksa tutup. Kita harus hormati juga hak mereka yang tak berkewajiban dan tak sedang berpuasa," demikian seperti dari akun Twitter Lukman Hakim, @lukmansaifuddin, Senin (8/6).

Apa yang dilakukan Menteri Agama ini, mengingatkan kita pada sikap mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Ia pernah mengatakan, "Jika kita merasa terhormat, maka kita akan berpuasa dengan menghormati yang tidak berpuasa."

Menag mengeluarkan pernyataan menanggapi Agung Prasetyo Utomo, melalui akun twitternya @agungprasetyo_u. Dia meminta agar sekalian saja warung-warung ditutup. Pasalnya menurut Agung, keberadaan warung-warung yang buka siang hari tersebut akan mengurangi khidmatnya Ramadhan. Namun Lukman tetap bersikukuh bahwasanya dengan membiarkan warung-warung tetap buka, akan memudahkan pemeluk agama lain. Islam harus menjadi agama yang toleran. Sejauh ini penutupan paksa terhadap warung-warung di bulan puasa merupakan tindakan sepihak yang dilakukan Ormas berbau islami. "Hemat saya, kita semua saling menghormati hak orang lain," balas Lukman.

Tapi anehnya ketika Wali Kota Bandung Ridwan Kamil pun ikut memperbolehkan pemilik tempat makan buka di siang hari selama bulan suci Ramadhan. Para Netizen tidak memprotesnya bahkan media-media radikal yang sempat diblokir oleh pemerintah ikut bungkam kerika Kang Emil, sapaan akrab Wali Kota Bandung itu. Emil menegaskan tidak akan membuat aturan khusus terkait hal itu. Emil mengaku hanya akan mengimbau para pedagang agar menghormati umat muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa. "Karena sebagian pedagang juga kan orang Islam. Jadi imbauan kepada pedagang yang juga orang Islam pasti akan mudah dituruti," ujar Emil di Balai Kota Bandung, Jalan Wastukancana, Senin (15/6/2015).

Kedua orang tersebut sama-sama mengatakan pendapatnya bahwa tidak akan menutup warung yang buka di bulan puasa, tapi anehnya Menag di-bully sedangkan Pak Wali Kota Bandung tidak ada yang berkomentar. Mem-bully Menag seakan akan Menag salah langkah dan tak islami, tapi ketika Wali Kota Bandung yang sama sikapnya, tidak mereka komentari dan persalahkan. Ada apa ini kira-kira? Padahal dari dulu tidak ada masalah?

Mungkin karena Pak Lukman salah satu orang yang membumikan Islam Nusantara yang menumbuhkan karakter wasathiyah, moderat, dan toleran agar tidak ada perpecahan. Makanya para netizen dan media-media radikal (tidak senang terhadap adanya istilah Islam Nusantara) menghujat, disindir, dan terus dibacarakan di mana-mana. Andai kata Kang Emil termasuk salah satu orang yang membumikan Islam Nusantara mungkin juga dihujat habis-habisan. Hehe J

Terlepas dari itu, saya mencoba memberikan sedikit padangan, orang sedang mencari nafkah, masa iya dilarang? Makin banyak warung buka siang hari di hadapan kita, berarti tantangan dan ujian akan kualitas puasa kita akan besar pula. Semakin banyak tantangan, semakin tinggi pula kelas puasa kita, iya kan? Kalaupun warung disuruh tutup, maka warung-warung yang buka jajanan buka puasa di sore hari harus tutup juga dong? Karena penjual kue sore hari ini yang banyak batalin puasa kita. Karena bikin ngiler lidah dan mata jadi hijau lihat aneka jajanan buka puasa yang enak-enak. Iya kan?

Bulan Ramadhan adalah bulan penuh ampunan, bulan penuh rahmat, bulan untuk mengumpulkan pahala, bulan di mana saatnya keagamaan ditingkatkan. Bulan Ramadhan, bulan di mana toleransi harus lebih dijalankan buat yang tidak berpuasa. Hormati yang lagi beribadah puasa, hargai bulan suci ini. Sekarang timbul pertanyaan, apakah yang dihormati hanya yang berpuasa? Atau coba berpikir sebaliknya, apakah yang berpuasa juga sudah menghormati dan menghargai yang tidak berpuasa?

Perilaku beragama masyarakat Indonesia yang cenderung moderat, toleran, dan akomodatif. Saling menjaga dan menghormati satu sama lain menjadi salah satu faktor yang menjadikan bangsa ini bisa bersatu dan hidup rukun di antara puluhan bahkan ratusan macam suku dan bahasa. Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, bisa mewujudkan kehidupan yang rukun dan penuh toleransi dengan pemeluk agama lain.

Selamat berpuasa. Tetap Toleran terhadap sesama.

*Waki Ats Tsaqofi, Anggota SEMA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kader PMII Komfaka