Islamoderat.com ~ Dalam menentukan awal Ramadlan, kadang terjadi perbedaan hasil rukyatul hilal antara negara Indonesia dengan negara lain. Dalam hal, umat Islam Indonesia mengikuti hasil rukyat yang terjadi di Negara sendiri yang didasarkan pada hadits:
عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلالَ فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ: لا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Dari Kuraib: “Sesungguhnya Ummu Fadl binti al-Harits telah mengutusnya menemui Mu’awiyah di Syam. Berkata Kuraib:” Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku (bulan) Ramadlan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadlan) pada malam Jum’at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadlan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku (tentang beberapa hal), kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya; “Kapan kamu melihat hilal (Ramadlan)?” Jawabku : “Kami melihatnya pada malam Jum’at”.Ia bertanya lagi : “Engkau melihatnya (sendiri) ?” Jawabku: “Ya! Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu’awiyah Puasa”. Ia berkata: “Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawal) “. Aku bertanya: “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah (penglihatan) dan puasanya Mu’awiyah?” Jawabnya : “Tidak! Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami”. ( HR. Muslim [1087], Ahmad 1/306, Abu Dawud [2332], al-Tirmidzi [693], al-Nasa’i 4/131 dan Ibnu Khuzaimah [1916]).
Hadits di atas sangat tegas memberikan penjelasan, bahwa setiap daerah mengikuti hasil rukyatnya masing-masing dalam menentukan awal puasa dan hari raya. Dalam konteks ini, al-Imam Ibnu Khuzaimah menegaskan: “Hadist di atas merupakan dalil atas wajibnya tiap-tiap penduduk negeri untuk berpuasa Ramadhan berdasarkan karena ru’yah mereka, bukan ru’yah selain (negeri) mereka”. (Shahih Ibn Khuzaimah, juz 3 hlm 205).
Al-Imam Tirmidzi juga berkata :
وَالْعَمَلُ عَلىَ هَذَا الْحَدِيْثِ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ لِكُلِّ أَهْلِ بَلَدٍ رُؤْيَتُهُمْ
“Hadits ini telah diamalkan oleh para ulama, bahwa sesungguhnya tiap-tiap penduduk negeri mempunyai ru’yah sendiri “. (Sunan al-Tirmidzi, juz 3 hlm 76).
عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلالَ فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ: لا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Dari Kuraib: “Sesungguhnya Ummu Fadl binti al-Harits telah mengutusnya menemui Mu’awiyah di Syam. Berkata Kuraib:” Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku (bulan) Ramadlan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadlan) pada malam Jum’at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadlan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku (tentang beberapa hal), kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya; “Kapan kamu melihat hilal (Ramadlan)?” Jawabku : “Kami melihatnya pada malam Jum’at”.Ia bertanya lagi : “Engkau melihatnya (sendiri) ?” Jawabku: “Ya! Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu’awiyah Puasa”. Ia berkata: “Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawal) “. Aku bertanya: “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah (penglihatan) dan puasanya Mu’awiyah?” Jawabnya : “Tidak! Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami”. ( HR. Muslim [1087], Ahmad 1/306, Abu Dawud [2332], al-Tirmidzi [693], al-Nasa’i 4/131 dan Ibnu Khuzaimah [1916]).
Hadits di atas sangat tegas memberikan penjelasan, bahwa setiap daerah mengikuti hasil rukyatnya masing-masing dalam menentukan awal puasa dan hari raya. Dalam konteks ini, al-Imam Ibnu Khuzaimah menegaskan: “Hadist di atas merupakan dalil atas wajibnya tiap-tiap penduduk negeri untuk berpuasa Ramadhan berdasarkan karena ru’yah mereka, bukan ru’yah selain (negeri) mereka”. (Shahih Ibn Khuzaimah, juz 3 hlm 205).
Al-Imam Tirmidzi juga berkata :
وَالْعَمَلُ عَلىَ هَذَا الْحَدِيْثِ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ لِكُلِّ أَهْلِ بَلَدٍ رُؤْيَتُهُمْ
“Hadits ini telah diamalkan oleh para ulama, bahwa sesungguhnya tiap-tiap penduduk negeri mempunyai ru’yah sendiri “. (Sunan al-Tirmidzi, juz 3 hlm 76).
Oleh : Ust. Muhammad Idrus Ramli