Islamoderat.com ~
Oleh: Nasrullah el-Jabouny*
Saat ada waktu luang pada 13 Juni 2015, saya mengkutii sebuah pertemuan kecil yang dihadiri sekitar 20-an orang di Jombang, Jawa timur. Rata-rata pesertanya berasal dari Jombang, Jember, Malang, dan Sidoarjo. Profesi peserta mulai dari pelajar, wartawan, dosen, guru BK, para psikolog, Biro Psikologi, hingga peneliti bertitel Magister.
Saya melihat beberapa wajah peserta yang mayoritas sudah menikah dan punya anak sangat antusias mengikuti pemaparan dari Ustadz Agung sugiarto atau yang biasa dipanggil Mas Sinyo. Beliau ini penulis buku dan pernah menjadi guru Bahasa Perancis di sumatera selatan. Tentu saja antusiasme tersebut berbanding lurus dengan kekhawatiran mereka pada satu isu besar yakni Lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Wajar mereka khawatir, Jaringan atau komunitas LGBT mulai menjamur ditiap daerah.
Laju Perkembangan LGBT di Indonesia
Perlu diketahui pembaca, istilah ini mulai populer sekitar era 1990-an. Dari data-data yang saya miliki, sampai akhir tahun 2013 terdapat dua jaringan nasional organisasi LGBT yang terdiri dari 119 organisasi berlokasi di 28 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia. Komunitas LGBT yang paling terkenal adalah Organisasi LGBT Arus Pelangi di Jakarta dan Gaya Nusantara di Surabaya.
Lebih banyak organisasi bercokol di pulau-pulau yang berpenduduk lebih padat, khususnya pulau Jawa dan Sumatera. Sedangkan di pulau Kalimantan dan Sulawesi serta di Kawasan Indonesia Timur pada umumnya, terdapat lebih sedikit organisasi (Lihat: Hidup Sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional Indonesia, UNDP, hal 57).
Ditambah lagi, sudah muncul cendekia maupun agamawan yang pro LGBT dan memikirkan tafsir yang memihak LGBT. Misal Prof Dr Siti musdah mulia. Otomatis sedikit banyak membuat pemuda-pemudi dengan berani menyatakan dirinya seorang lesbian, gay, biseksual bahkan transgender.
Masih hangat dalam ingatan kita munculnya monster pedofilia sejenis yang merengut masa depan anak-anak seperti yang terjadi di JIS. Memang betul betul mengerikan!. Akibatnya, setiap kegiatan mereka selalu dianggap negatif, entah itu bakti sosial, penyuluhan HIV, atau kegiatan lain. Selama penyelanggaranya adalah komunitas LGBT, pasti negatif dan masyarakat umum enggan mendekat.
Isu LGBT memang jarang dibahas, selain karena tidak populer ditengah dominasi heteronormativitas (norma hetero), kejadian buruk yang sering diberitakan media membuat masyarakat semakin paranoid dengan pelaku LGBT. Padahal pelaku LGBT juga manusia yang membutuhkan perhatian dan di sisi lain pengakuan eksistensi. Mereka juga butuh solusi atas masalah yang menimpa mereka, yang tentu saja tidak sekedar menakut-nakuti mereka dengan kisah kaum Nabi Luth, fatwa hukuman cambuk dan ancaman siksa neraka. Toh setiap manusia pasti berdosa dan akan mencicipi dahsyatnya siksa neraka.
Menyikapi keberadaan LGBT memang tidak mudah, beda daerah beda pula isu yang berkembang. Secara garis besar pelaku LGBT hanya menginginkan supaya tidak terjadi kekerasan dan diskriminasi yang menimpa mereka. Yang mereka butuhkan adalah perspektif, dan pendekatan yang ramah, tidak pakai kekerasan.
Terkadang lewat media cetak maupun elektronik, saya lihat mereka tidak bosan untuk menggelar demo di bundaran HI dan orasi di acara Car free day. Setidaknya ini penting mengingat bahwa mereka ada dan akan terus menjamur. Bila tidak ada tindakan yang didasari pada pemahaman yang baik, tentu yang muncul bukanlah solusi, tapi tindakan beringas yang akan semakin menjauhkan mereka dari solusi (mendirikan pusat rehabilitasi, hypnoterapi, dll).
Sudah saatnya memang kita harus sadar akan kenyataan tersebut. Dan idealnya ada tindakan konkrit yang berbasis solusi, yang sesuai dengan keyakinan kita dan adat masyarakat kita. Pemerintah khususnya Kementerian agama, Kesehatan dan Sosial perlu dilibatkan. Sebelum memberi solusi, wajib bagi pendakwah untuk kenal dan paham hakekat LGBT dari berbagai perspektif. Karena yang dihadapi ini bukan isu baru, tapi isu sejak ribuan tahun yang lalu yang terakumulasi menjadi bongkahan gunung es yang siap runtuh di laut yang tenang.
Oleh: Nasrullah el-Jabouny*
Saat ada waktu luang pada 13 Juni 2015, saya mengkutii sebuah pertemuan kecil yang dihadiri sekitar 20-an orang di Jombang, Jawa timur. Rata-rata pesertanya berasal dari Jombang, Jember, Malang, dan Sidoarjo. Profesi peserta mulai dari pelajar, wartawan, dosen, guru BK, para psikolog, Biro Psikologi, hingga peneliti bertitel Magister.
Saya melihat beberapa wajah peserta yang mayoritas sudah menikah dan punya anak sangat antusias mengikuti pemaparan dari Ustadz Agung sugiarto atau yang biasa dipanggil Mas Sinyo. Beliau ini penulis buku dan pernah menjadi guru Bahasa Perancis di sumatera selatan. Tentu saja antusiasme tersebut berbanding lurus dengan kekhawatiran mereka pada satu isu besar yakni Lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Wajar mereka khawatir, Jaringan atau komunitas LGBT mulai menjamur ditiap daerah.
Laju Perkembangan LGBT di Indonesia
Perlu diketahui pembaca, istilah ini mulai populer sekitar era 1990-an. Dari data-data yang saya miliki, sampai akhir tahun 2013 terdapat dua jaringan nasional organisasi LGBT yang terdiri dari 119 organisasi berlokasi di 28 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia. Komunitas LGBT yang paling terkenal adalah Organisasi LGBT Arus Pelangi di Jakarta dan Gaya Nusantara di Surabaya.
Lebih banyak organisasi bercokol di pulau-pulau yang berpenduduk lebih padat, khususnya pulau Jawa dan Sumatera. Sedangkan di pulau Kalimantan dan Sulawesi serta di Kawasan Indonesia Timur pada umumnya, terdapat lebih sedikit organisasi (Lihat: Hidup Sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional Indonesia, UNDP, hal 57).
Ditambah lagi, sudah muncul cendekia maupun agamawan yang pro LGBT dan memikirkan tafsir yang memihak LGBT. Misal Prof Dr Siti musdah mulia. Otomatis sedikit banyak membuat pemuda-pemudi dengan berani menyatakan dirinya seorang lesbian, gay, biseksual bahkan transgender.
Masih hangat dalam ingatan kita munculnya monster pedofilia sejenis yang merengut masa depan anak-anak seperti yang terjadi di JIS. Memang betul betul mengerikan!. Akibatnya, setiap kegiatan mereka selalu dianggap negatif, entah itu bakti sosial, penyuluhan HIV, atau kegiatan lain. Selama penyelanggaranya adalah komunitas LGBT, pasti negatif dan masyarakat umum enggan mendekat.
Isu LGBT memang jarang dibahas, selain karena tidak populer ditengah dominasi heteronormativitas (norma hetero), kejadian buruk yang sering diberitakan media membuat masyarakat semakin paranoid dengan pelaku LGBT. Padahal pelaku LGBT juga manusia yang membutuhkan perhatian dan di sisi lain pengakuan eksistensi. Mereka juga butuh solusi atas masalah yang menimpa mereka, yang tentu saja tidak sekedar menakut-nakuti mereka dengan kisah kaum Nabi Luth, fatwa hukuman cambuk dan ancaman siksa neraka. Toh setiap manusia pasti berdosa dan akan mencicipi dahsyatnya siksa neraka.
Menyikapi keberadaan LGBT memang tidak mudah, beda daerah beda pula isu yang berkembang. Secara garis besar pelaku LGBT hanya menginginkan supaya tidak terjadi kekerasan dan diskriminasi yang menimpa mereka. Yang mereka butuhkan adalah perspektif, dan pendekatan yang ramah, tidak pakai kekerasan.
Terkadang lewat media cetak maupun elektronik, saya lihat mereka tidak bosan untuk menggelar demo di bundaran HI dan orasi di acara Car free day. Setidaknya ini penting mengingat bahwa mereka ada dan akan terus menjamur. Bila tidak ada tindakan yang didasari pada pemahaman yang baik, tentu yang muncul bukanlah solusi, tapi tindakan beringas yang akan semakin menjauhkan mereka dari solusi (mendirikan pusat rehabilitasi, hypnoterapi, dll).
Sudah saatnya memang kita harus sadar akan kenyataan tersebut. Dan idealnya ada tindakan konkrit yang berbasis solusi, yang sesuai dengan keyakinan kita dan adat masyarakat kita. Pemerintah khususnya Kementerian agama, Kesehatan dan Sosial perlu dilibatkan. Sebelum memberi solusi, wajib bagi pendakwah untuk kenal dan paham hakekat LGBT dari berbagai perspektif. Karena yang dihadapi ini bukan isu baru, tapi isu sejak ribuan tahun yang lalu yang terakumulasi menjadi bongkahan gunung es yang siap runtuh di laut yang tenang.
*Penulis : Nasrullah el-Jabouny
Alumni Jurusan PGMI di Pascasarjana UIN Malang