Sejarah Awal Puasa dalam Islam


Islamoderat.com ~ Tahu ngga kalau Puasa Ramadan adalah ibadah yang diwajibkan Allah Swt kepada umat Islam pada tahun ke-2 Hijriah? Ya, sebelum Puasa Ramadan disyariatkan, Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin hanya melakukan tiga hari dalam sebulan. Kemudian puasa Ayura’. Baru setelah itu turunlah perintah wajib puasa Ramadan.

Pada awalnya, puasa yang ada pada umat Islam tidak seringan yang kita rasakan saat ini. Dahulu, di malam hari puasa umat Islam dilarang untuk bersetubuh begitu juga makan dan minum apabila telah tertidur. Akan tetapi aturan tersebut akhirnya diganti dengan ayat dalam Alquran yang memperkenankan makan, minum dan bersenggama sampai menjelang masuknya waktu Subuh, berikut keterangan lengkapnya.

Sesungguhnya Rasulullah SAW ketika memasuki Kota Madinah telah menemukan penduduk Madinah melakukan puasa Asyura, kemudian beliau bertanya, “Ada apa ini?”, mereka menjawab, “Ini adalah hari di mana Allah telah menyelamatkan Nabi Musa AS. dan telah menenggelamkan Fir’aun. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Kami lebih berhak  kepada Nabi Musa AS dari pada kalian. Kemudian Rasulullah SAW berpuasa dan memerintah mereka untuk berpuasa Asyura’. Dan puasa Asyura’ ini menjadi suatu kewajiban sampai akhrinya turunlah (perintah diwajibkannya) puasa Ramadan. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Ini adalah hari Asyura sedangkan Allah tidak mewajibkannya atas kalian, barang siapa yang ingin (silahkan) berpuasalah, bagi yang tidak ingin tidak usah berpuasa”. HR Imam Bukhari

Imam Ahmad meriwayatkan dari Mu’adz Bin Jabal yang menjelaskan tentang proses perubahan salat dan puasa dalam pemberlakuan syariat Islam serta penyebab turunnya ayat tentang puasa. Yaitu beliau (Mu’adz Bin Jabal) berkata, “Perubahan pada salat terjadi tiga kali...”,  Sampai pada perkatan beliau, “Adapun dalam masalah puasa, sesungguhnya Rasulullah SAW ketika memasuki Madinah beliau berpuasa selama tiga hari dalam satu bulan dalam rentang waktu 17 (tujuh belas) bulan, yaitu dari Bulan Rabi’ul Awwal (tahun itu) sampai pada bulan Ramadan (tahun berikutnya), kemudian beliau berpuasa pada hari Asyura’ (10 Muharram).

“Kemudian Allah SWT mewajibkan Puasa (Ramadhan) dengan menurunkan (perintah), ‘’Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan puasa kepada kalian sebagaimana telah diwajibkan pula kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang yang bertakwa”. (QS Al-Baqarah : 183)

Sampai pada Firman Allah, “Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin”. (QS Al-Baqarah : 184)

Beliau berkata, “Maka orang-orang yang berpuasa ada pula yang memberi makan orang miskin sebagai ganti puasa (bagi yang telah lanjut usia yang susah baginya berpuasa begitu pula orang sakit yang tidak ada harapan sembuh).

Kemudian Allah menurunkan ayat lain, ‘’Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Alquran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan salah). Karena itu, barang siapa di antara kalian berada di bulan itu maka berpuasalah. (Sedangkan) barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (tidak berpuasa). Maka (wajib menggantinya) sebanyak hari yang ia tinggalkan itu, pada hari-hari yang lain”. (QS Al-Baqarah : 185)

Beliau berkata: “Kemudian Allah menetapkan (mewajibkan) puasa bagi yang bermukim dan sehat, dan memberi keringanan bagi yang sakit dan yang bepergian. Dan telah tetap pula bagi orang yang telah lanjut usia yang tidak mampu berpuasa, inilah dua hal tersebut”.

“Telah dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur (senggama) dengan Istri kalian, mereka adalah pakaian bagi kalian dan kalian adalah pakaian bagi mereka. Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa diri kalian tidak mampu menahan diri, akan tetapi Dia telah menerima taubat kalian dan memaafkan kalian. Maka sekarang campurilah mereka (istri) dan carilah apa yang telah Allah tetapkan bagi kalian. Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian (perbedaan) antara benang putih dan hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (tiba) waktu malam (Maghrib)”. (QS Al-Baqarah : 187).

Diriwayatkan dari Al-Barra’, beliau berkata, “Dahulu para sahabat Nabi Muhammad SAW jika ada seorang lelaki yang berpuasa kemudian tiba waktunya berbuka akan tetapi ia terlanjur tidur (terlebih dahulu) sebelum berbuka, maka tidak boleh makan pada malam harinya begitu juga siang harinya sampai sore (Maghrib). Dan sesungguhnya Qais Bin Shoromah Al-Anshori ketika itu beliau berpuasa, dalam riwayat lain beliau sedang bekerja di kebun kurma di siang hari dalam keadaan berpuasa. Ketika tiba waktunya berbuka ia mendatangi Istrinya dan berkata, “Apakah engkau punya makanan?”, Istrinya menjawab, “Tidak, akan tetapi aku akan pergi mencarinya untukmu”. Karena pada hari itu ia (qais) bekerja sehingga terlelap dalam tidurnya. Kemudian datanglah Istrinya sembari berkata, “Alangkah malangnya dirimu”. Ketika tiba di pertengahan siang hari (esoknya) ia (qais) terpingsan, akhirnya hal ini diceritakan kepada Nabi SAW kemudian turunlah ayat ini, “Telah dihalalkan bagi kalian untuk bercampur (senggama) dengan istri kalian pada malam hari puasa”. (QS Al-Baqarah : 187)

Maka para sahabat bergembira ketika Allah menghalalkan apa yang telah diharamkan sebelumnya, kemudian  turun ayat, “Maka makan dan minumlah sampai jelas bagi kalian (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam dari Fajar (Subuh)”. (QS Al-Baqarah : 187), HR Imam Bukhari.

Disebutkan pula dalam Shahih Bukhari: Dari Al-Barra’, beliau berkata, “Ketika ada perintah wajib puasa Ramadan, mereka (para sahabat) tidak mendekati istri mereka selama Ramadan penuh, akan tetapi kaum lelaki tidak mampu menahan diri mereka, maka Allah menurunkan ayat, “Allah mengetahui bahwa kalian tidak dapat menahan diri kalian, tetapi Dia telah menerima taubat kalian dan memaafkan kalian”. (QS Al-Baqarah : 187), HR. Imam Bukhari

Imam Ath-Thobari menyebutkan, “Sesungguhnya Umar RA. ketika pulang dari Rasulullah SAW, saat itu malam masih panjang. Sedangkan ia menemukan Istrinya telah tertidur dan mengharapkannya (bersenggama), kemudian Istrinya berkata, “Aku telah tidur”, beliau berkata , “Tidak, engkau belum tidur”. Akhirnya Umar bersetubuh dengan Istrinya,  dan hal ini juga menimpa Ka’ab Bin Malik. Esok harinya Umar menemui Nabi SAW seraya berkata, “Aku minta maaf kepada Allah dan kepadamu, sungguh aku telah bercampur dengan istriku, apakah ada keringan untukku?”, beliau (Rasulullah) berkata padaku, “Tiada keringanan akan hal itu wahai Umar”. Ketika Umar tiba di rumahnya, Rasulullah mengutus seseorang agar menyampaikan tentang Udzurnya dengan satu ayat dalam Alquran (QS Al-Baqarah : 187). Mari sambut Ramadan dengan penuh gembira dan jiwa bersih agar hidup di dunia mendapat berkah, dan balik ke alam baka kelak mendapat ridha Allah.

Persiapkan Ramadan dengan sungguh-sungguh.  Mana tahu, ini merupakan Ramadan terakhir dalam hidup. Untuk itu jangan sia-siakan. Lakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat sekuat dapat. Jangan hanya tinggalkan batu nisan ketika kita sudah tiada. Tapi tinggalkan sesuatu yang pantas dikenang orang, dan patut untuk dibawa pulang ke alam keabadian.***


Imam Abdullah El-Rashied
Mahasiswa Imam Shafie  College, Hadramaut-Yaman