Ini Kiai NU calon Ahlul Halli wal Aqdi usulan GP Ansor


Islamoderat.com ~ Siapa saja kiai NU yang layak menjadi ahlul halli wal aqdi (AHWA)? Ketua Umum PP GP Ansor, Nusron Wahid mengatakan, GP Ansor mengusulkan beberapa nama kiai sepuh NU yang layak dipilih dan masuk sebagai AHWA.
Ahlul Halli wal Aqdi usulan GP Ansor
Para kiai NU itu antara lain KH Muchit Muzadi (Kakak KH Hasyim Muzadi) dari Jember; KH Tolhah Hasan dari Malang; KH Nawawi Abdul Djalil dari Pasuruan; KH. Anwar Mansur, Lirboyo Kediri; KH. Nurul Huda Djazuli, Ploso Kediri; KH. Maemun Zubair, Sarang, Rembang; KH. Sya'roni Ahmadi, Kudus; KH Dimyati Rois, Kendal; Habib Lutfi bin Yahya, Pekalongan; KH. Sanusi Baco, Makassar.

Selanjutnya, KH. Ma'ruf Amin, Jakarta; Muhtadi Dimyati, Banten; KH. Ahmad Shodiq, Lampung Timur; KH Mahtum Hanan, Babakan Ciwaringin Citebon; KH. Nuh Addawwami, Garut; Tuan Guru Turmudzi Badrudin, Lombok; KH Kholilurrahman, Martapura; KH. Mudarris, Sumsel; KH Mahmudin Pasaribu, Musthofawiyah Sumut; dan KH Bagindo Letter, Sumbar.

"Beliau-beliau merupakan kiai sepuh yang tidak lagi diragukan komitmen dan garis lurusnya dalam merawat umat NU selama ini," ujarnya.

Selain itu, GP Ansor siap mengamankan semua keputusan munas alim ulama yang beberapa waktu lalu digelar di Jakarta, terutama keputusan terkait mekanisme pemilihan Rais 'Aam pada Muktamar ke-33 nanti.

Nusron Wahid menegaskan pihaknya siap mengamankan keputusan Munas Alim Ulama NU yang menyepakati mekanisme pemilihan Rais 'Aam Syuriyah dengan metode ahlul halli wal aqdi (ahwa) atau musyawarah mufakat para kiai senior dalam Muktamar NU nanti.

Nusron mengatakan, metode tersebut sudah diputuskan dalam Munas Alim Ulama yang merupakan forum tertinggi setelah muktamar, serta dihadiri oleh 27 dari 34 pengurus wilayah NU ditambah anggota pleno PBNU yang terdiri dari pengurus harian Syuriyah, Tanfidziyah, Awan, dan Mustasyar, serta Ketua Lembaga, Lajnah dan Badan Otonom. Karena itu, tidak ada alasan bagi siapapun yang mengatasnamakan NU untuk menolaknya.

"Kalau ada yang tidak setuju, kenapa tidak hadir dan berargumentasi di depan para kiai? Di depan para syuriyah yang lain? Terutama di depan para kiai sepuh?," kata Nusron Wahid dalam keterangannya, Kamis (18/6/2015).

Nusron mengingatkan kembali bahwa pemimpin tertinggi di NU itu syuriyah. Sementara tanfidziyah hanyalah pelaksana organisasi. Untuk itu, dia mempertanyakan jika justru posisi syuriyah hanya dikerdilkan soal keagamaan. "Syuriyah itu pemimpin tertinggi di NU, yang punya bawahan namanya tanfidziyah. Jangan malah sebaliknya syuriyah diatur tanfidziyah," ujarnya.

Dengan posisinya sebagai pemimpin tertinggi di NU, lanjut dia, maka tidak sepatutnya juga ketika munas yang mereka gelar dipertanyakan hanya karena tanpa adanya konbes. "Apa tidak diperbolehkan para syuriyah kumpul dan membahas masalah syuriyah tersendiri?," ungkapnya.

Nusron merasa perlu menegaskan itu karena seharusnya kalau sudah keputusan para kiai dalam munas bahwa mekanisme pemilihan Rais 'Aam Syuriyah dengan metode Ahwa maka semuanya wajib mendengar dan mentaati atau sami'na wa atho'na. "Toh dengan metode Ahwa tidak ada yang dilanggar. Dalam AD/ART memang diputuskan bahwa pemilihan Rais 'Aam itu dengan musyawarah mufakat dan atau pemilihan. Kalau kiai sudah memutuskan untuk jalan mufakat melalui mekanisme Ahwa ya harus kita amankan," tukasnya. [air]

sumber beritajatim