Islamoderat.com ~
Oleh : KH. Dr Eman Suryaman M.M
Pada hari Senin, 25 Mei 2015 lalu, Wakil Presiden Republik Indonesia, Mohammad Jusuf Kalla menyampaikan beberapa pandangan terkait dengan sertifikasi masjid.
Pidato di depan para menteri dan pejabat terkait di Istana Wakil Presiden dalam rangka Lokakarya Nasional Pengelolaan Wakaf dan Aset-Aset Masjid Indonesia serta Penyerahan Penghargaan sayembara Arsitektur Desain Masjid, di Istana Negara Wakil Presiden RI, Jakarta Pusat itu patut diapresiasi secara khusus.
Selain memandang pentingnya sertifikasi, Wapres juga menyampaikan beberapa hal terkait dengan pengaturan sound-system dan tata kelola ruang pada masjid.
Sertifikasi menjadi hal yang penting mengingat selama ini urusan masjid, terutama di perkotaan, sering dililit masalah. Ada yang berebut karena status hak antara keluarga (pewaris) dengan pengelola masjid, ada pula yang sampai penjualan masjid seperti yang terjadi di Masjid Teja Suar Cirebon tahun 2013.
Sosiologi masjid
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat kita memandang masjid sebagai sarana utama ibadah, terutama shalat. Tetapi pada praktik keseharian masjid merupakan tempat yang berdimensi ruang publik, dan itu memang sejalan dengan fungsi masjid sejak zaman nabi. “Tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia.” (Qs Al-Baqarah 2:125). untuk bertakwa (Qs Al-Taubah: 9:108). Spirit seperti ini bisa dilihat dari sepajarah masjid Quba dan masjid Nabawi, keduanya di Madinah.
Selain sebagai tempat shalat juga memiliki fungsi terkait dengan kebutuhan-kebutuhan publik seperti pendidikan (tarbiyah) dan pembelajaran (ta’lim). Bahkan di masjid-masjid pinggir jalan raya, fungsinya juga berkembang pada aspek kemaslahatan sebagai tempat istirahat (pelayanan musafir). Dengan pengertian seperti ini, masjid memang harus didudukkan sebagai bangunan (ruang publik) sekaligus organisasi sosial kemasyarakatan.
Oleh : KH. Dr Eman Suryaman M.M
Pada hari Senin, 25 Mei 2015 lalu, Wakil Presiden Republik Indonesia, Mohammad Jusuf Kalla menyampaikan beberapa pandangan terkait dengan sertifikasi masjid.
Pidato di depan para menteri dan pejabat terkait di Istana Wakil Presiden dalam rangka Lokakarya Nasional Pengelolaan Wakaf dan Aset-Aset Masjid Indonesia serta Penyerahan Penghargaan sayembara Arsitektur Desain Masjid, di Istana Negara Wakil Presiden RI, Jakarta Pusat itu patut diapresiasi secara khusus.
Selain memandang pentingnya sertifikasi, Wapres juga menyampaikan beberapa hal terkait dengan pengaturan sound-system dan tata kelola ruang pada masjid.
Sertifikasi menjadi hal yang penting mengingat selama ini urusan masjid, terutama di perkotaan, sering dililit masalah. Ada yang berebut karena status hak antara keluarga (pewaris) dengan pengelola masjid, ada pula yang sampai penjualan masjid seperti yang terjadi di Masjid Teja Suar Cirebon tahun 2013.
Sosiologi masjid
Selain sebagai tempat shalat juga memiliki fungsi terkait dengan kebutuhan-kebutuhan publik seperti pendidikan (tarbiyah) dan pembelajaran (ta’lim). Bahkan di masjid-masjid pinggir jalan raya, fungsinya juga berkembang pada aspek kemaslahatan sebagai tempat istirahat (pelayanan musafir). Dengan pengertian seperti ini, masjid memang harus didudukkan sebagai bangunan (ruang publik) sekaligus organisasi sosial kemasyarakatan.
Masyarakat membangun masjid karena kebutuhan bersama. Orang kaya biasanya mendermakan harta atau tanahnya untuk kepentingan masjid. Karena dalam relasi sosial-religius itu mengandung dimensi sakral dan disertai keikhlasan, serta tidak menuntut timbal balik materi/keduniawaian, maka biasanya proses pembangunan dan pengelolaan berjalan secara alamiah dan baik-baik saja.
Namun belakangan kita sering mendengar adanya masalah dalam status dan kepemilikan. Sampai akhirnya terjadi konflik dan kita terkaget-kaget karena masjid kemudian dijualbelikan.
Antara warga dengan pihak penuntut (ahli waris) memang kemudian sulit berdamai. Di sinilah letak mengapa pemerintah memainkan peranannya melalui legislasi maupun peranan konkret kebijakan lainnya.
Sertifikasi menjadi penting. Sebab kita tidak tahu apakah ahli waris dari leluhurnya yang dulu tanpa pamrih menyumbangkan tanahnya itu memiliki ketulusan yang sama. Dan di luar itu, dengan adanya kejelasan secara hitam putih (legalitas), pengelola dan warga bisa memahami hakikat pembawa amanat dalam manajemen.
Spirit masjid
Untuk pencapaian tempat aman/nyaman, menuju garis ketakwaan dan peradaban, tentu usaha tidak sekadar membangun masjid. Pengelolaan, kontrol dan juga arah kontribusi kepada masyarakat harus dimiliki para pengurusnya agar masjid tidak berbalik menjadi kemungkaran.
Kita mesti takut terhadap ancaman Al-Quran yang juga memberi ancaman terjadinya kemadharatan pada urusan masjid. Di antara orang-orang munafik ada orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan pada kaum mukmin…” (Al-Taubah: 107).
Tujuan pengelolaan itu sendiri untuk mewujudkan para pengelolanya sebagai “pemakmur masjid” benar-benar menjadi seorang “muhtadin” orang-orang yang mendapat petunjuk (Qs 9:18) dan moga-moga meraih surga.
Dalam Islam selalu ada capaian-capaian yang konkret untuk menuju tangga (mi’raj) keberhasilan. Misalnya dalam shalat, kita tidak sekadar shalat. Sebab orang yang shalat tapi membiarkan anak yatim terlantar itu juga tidak bisa disebut sebagai muslim yang ideal. Dalam puasa, tidak cukup disebut takwa manakala hanya untuk lapar dan dahaga sementara pikiran, lidah dan perilakunya tidak menjiwai puasa.
Demikian juga dalam urusan masjid. Tidak mungkin kita meraih derajat takwa jika masjid tidak mampu membuktikan peranan sosial-kemasyarakatannya pada umat. Alih-alih kita memproses ke arah idealitas peradaban.
Bahkan sekarang banyak masjid yang karena load-speaker-nya memekakkan telingga warga sekitar sehingga diam-diam warga sering gerundelan karena suara-suara dari masjid itu menganggu.
Masyarakat tidak mempersoalkan gema adzan atau lantunan ayat-ayat suci. Tetapi yang diinginkan adalah bahwa acara publik kemasjidan tersebut laras dan sama-sama membuat nyaman warga.
Di sini, selalu butuh komunikasi dan musyawarah antara pengurus dan warga. Jika kita mencintai masjid, dan ingin menjadikan masjid sungguh memiliki misi mulia itu, maka tiada perlu lagi menunda untuk pembenahan. Allahu A’lam[]
Sumber: Tribun Jabar 29 Mei 2015
Namun belakangan kita sering mendengar adanya masalah dalam status dan kepemilikan. Sampai akhirnya terjadi konflik dan kita terkaget-kaget karena masjid kemudian dijualbelikan.
Antara warga dengan pihak penuntut (ahli waris) memang kemudian sulit berdamai. Di sinilah letak mengapa pemerintah memainkan peranannya melalui legislasi maupun peranan konkret kebijakan lainnya.
Sertifikasi menjadi penting. Sebab kita tidak tahu apakah ahli waris dari leluhurnya yang dulu tanpa pamrih menyumbangkan tanahnya itu memiliki ketulusan yang sama. Dan di luar itu, dengan adanya kejelasan secara hitam putih (legalitas), pengelola dan warga bisa memahami hakikat pembawa amanat dalam manajemen.
Spirit masjid
Untuk pencapaian tempat aman/nyaman, menuju garis ketakwaan dan peradaban, tentu usaha tidak sekadar membangun masjid. Pengelolaan, kontrol dan juga arah kontribusi kepada masyarakat harus dimiliki para pengurusnya agar masjid tidak berbalik menjadi kemungkaran.
Kita mesti takut terhadap ancaman Al-Quran yang juga memberi ancaman terjadinya kemadharatan pada urusan masjid. Di antara orang-orang munafik ada orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan pada kaum mukmin…” (Al-Taubah: 107).
Tujuan pengelolaan itu sendiri untuk mewujudkan para pengelolanya sebagai “pemakmur masjid” benar-benar menjadi seorang “muhtadin” orang-orang yang mendapat petunjuk (Qs 9:18) dan moga-moga meraih surga.
Dalam Islam selalu ada capaian-capaian yang konkret untuk menuju tangga (mi’raj) keberhasilan. Misalnya dalam shalat, kita tidak sekadar shalat. Sebab orang yang shalat tapi membiarkan anak yatim terlantar itu juga tidak bisa disebut sebagai muslim yang ideal. Dalam puasa, tidak cukup disebut takwa manakala hanya untuk lapar dan dahaga sementara pikiran, lidah dan perilakunya tidak menjiwai puasa.
Demikian juga dalam urusan masjid. Tidak mungkin kita meraih derajat takwa jika masjid tidak mampu membuktikan peranan sosial-kemasyarakatannya pada umat. Alih-alih kita memproses ke arah idealitas peradaban.
Bahkan sekarang banyak masjid yang karena load-speaker-nya memekakkan telingga warga sekitar sehingga diam-diam warga sering gerundelan karena suara-suara dari masjid itu menganggu.
Masyarakat tidak mempersoalkan gema adzan atau lantunan ayat-ayat suci. Tetapi yang diinginkan adalah bahwa acara publik kemasjidan tersebut laras dan sama-sama membuat nyaman warga.
Di sini, selalu butuh komunikasi dan musyawarah antara pengurus dan warga. Jika kita mencintai masjid, dan ingin menjadikan masjid sungguh memiliki misi mulia itu, maka tiada perlu lagi menunda untuk pembenahan. Allahu A’lam[]
*KH. Dr Eman Suryaman M.M
Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat
Sumber: Tribun Jabar 29 Mei 2015